Tulislah sesuatu tanpa membaca apapun. Tuangkan semua ide dalam kepalamu.
Kemudian bacalah sebuah buku sampai beres. Setelahnya, tuliskan ide yang sama (dengan yang tanpa membaca) di kertas/file yang berbeda.
Saya yakin, hasilnya akan berbeda. Meski ditulis oleh orang yang sama.
Saya suka menulis dan juga membaca. Meski urutannya adalah, saya membaca dulu baru menulis. Maksudnya, saya membaca sejak sebelum masuk SD kalau tidak salah. Namun menulis baru saya lakukan ketika sudah di SMP.
Jika saya ingat-ingat, semua tulisan saya mengalami perkembangan. Sesuai dengan banyaknya sumber atau buku yang saya baca.
Tulisan saya jaman SMP/SMA jika dibaca sekarang, waduh. Bisa-bisa Iko Uwais lupa semua gerakan pencak silat karena menertawakan tulisan saya. Alay banget. Maklum, jaman SMA sering bacanya serial Fear Street sama komik Pop Corn.
Tulisan saya tidak hanya dipengaruhi oleh bacaan, namun juga pengalaman dan pertambahan usia. Saya versi lebih muda, 'nampak' lebih emosional, blak-blakan dan galau. Sementara, makin ke sini, saya makin berpikir lama sebelum menuliskan sesuatu. Menimbang-nimbang apakah yang saya tuliskan akan pantas tidak, akan bermanfaat atau tidak. Old school, detected.
Seorang penulis juga harus memikirkan kenyamanan mata para pembaca.
Saya selalu mengusahakan menulis dengan kalimat yang pendek dan lugas. Jarang berhasil sih. Sebab kecepatan ide saya seringkali melesat lebih jauh di banding menemukan tanda titik.
Saya belajar membuat paragraf renggang satu sama lain. Sebab pembaca juga butuh bernapas. Paragraf yang terlalu rapat akan membuat mereka sesak, seakan tidak ada jeda untuk istirahat. Ibarat tol BREXIT waktu pertamakali di buka, jarang ada rest areanya.
Pemilihan kata atau diksi pun butuh untuk diperhatikan. Apakah terlalu lebay? Apakah cocok, tidak cocok? Apakah terlalu jadul dan kurang up-to-date? Apakah dengan memakai kata tertentu, kita akan berhasil membuat pembaca bahagia? Atau malah membuat mereka trauma?