Saya senang melihat dan memerhatikan pelbagai tulisan orang yang wara-wiri di laman media sosial saya. Dari sekadar status keseharian, joke-joke receh sampai tulisan panjang berbobot, yang setelah membacanya amat sangat puas.
Saya juga senang memerhatikan bagaimana si pembuat status memerlakukan bahasa dengan caranya sendiri. Ada yang berbahasa dengan baik, lugas, dan gampang dicerna. Ada yang senang memakai perumpamaan dan taburan metafora di sana-sini. Ada yang tak peduli kaidah bahasa, namun toh penyampaian pesan berhasil sebab ia menyampaikannya dengan 'enak'.
Ada yang berbahasa manasuka, menyingkat kata dengan singkatan yang mungkin hanya Allah dan ia sendiri yang paham. Ada yang memasukkan banyak kata bahasa asing, mungkin karena itu jenis bahasa yang membuatnya nyaman, atau mungkin ia sulit menemukan padanan kata tersebut dalam Bahasa Indonesia. Apapun jenis bahasa dan gaya penyampaian, saya cukup menikmati suguhan setiap orang, yang membuat saya semakin lama, merasa semakin mengenal gaya setiap orang.
Akhir-akhir ini, beberapa kali saya merasa harus menghentikan pertemanan dengan beberapa orang atau tetap berteman, namun saya tidak mengikutinya lagi (unfollow). Orang-orang yang senang mengunggah foto-foto porno atau kekerasan (kecelakaan, musibah atau perang), orang-orang yang bahasa alay-nya membuat saya gagal mencerna, orang-orang yang senang merundung (bullying) dan orang-orang yang senang membuat status, untuk mengajak orang lain ikut membenci apa yang ia benci.
Kasus terakhir ini yang paling mengusik.
Siapa pun paham kondisi media daring saat ini. 'Perang dingin' sudah menimpa kita sejak era pilpres Jokowi-Prabowo. Eskalasi 'perang' ini semakin lama semakin meningkat, apalagi jika ada pemicu. Di linimasa akun saya, terlihat jelas dua kubu yang sebetulnya saling serang dengan cara mereka masing-masing.
Mendukung siapa pun itu, mengomentari siapa pun itu, ketika disampaikan dengan bahasa yang baik, saya hargai. Kita boleh jadi membenci atau tidak setuju dengan apapun, siapapun, namun kita punya kewajiban untuk menyampaikannya dengan baik. Dengan bahasa yang enak dibaca. Sebab ada alasannya mengapa orangtua kita menyekolahkan kita dari tingkat dasar hingga tinggi.
Berbahasalah dengan baik, sebab ada kelembutan hati di sana, ada kesantunan perilaku, dan ada penghormatan kepada pembaca yang membaca tulisan kita.
Logikanya, postingan dengan bahasa yang baik, akan disukai banyak orang. Penyampaian yang jernih, runut dan tidak membuat orang bingung dengan pesan yang ingin disampaikan.
Kenyataannya, justru postingan dengan bahasa seadanya, diksi asal-asalan, serta penyampaian yang cenderung memprovokasilah, yang disukai banyak orang.
Sedemikian rendahnyakah literasi kita?
Postingan yang ramai dibagikan hingga ribuan kali adalah postingan yang pendek, namun banyak memakai tanda seru, bahkan kata kasar yang membuat saya bingung, mengapa harus sampai sebegitunya.
Pagi ini saya membaca tautan status seseorang yang dibagikan seorang teman. Ini mengenai seorang perempuan yang aktif menuliskan kegiatan ia setiap hari, seringnya soal aksi kemanusiaan yang ia lakukan, Masyaallah.
Tepatnya, ia sering mengunggah foto dengan tulisan pendek. Seringnya, eh, mengenai ketidaksukaannya pada kondisi tertentu atau orang tertentu. Tulisannya pendek, diksinya biasa saja, bahasa yang digunakan juga amat biasa (seringnya kasar). Namun setiap kali mengunggah foto (plus tulisan), ribuan orang membagikannya. Luar biasa.
Luar biasa miris.
Demikian rendahnya literasi bangsa ini sehingga, tak peduli lagi dengan isi dan bahasa, selama itu sejalan dengan pandangan politik, selaras dengan kebencian yang sama-sama membeludak di kepala, klik, bagikan.
Maka, jangan salahkan siapa-siapa, jika anak-anak kita malas membaca dan mengkaji ilmu.
Sebab kita pun begitu.
Turut prihatin, literasi.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H