Turunkan ekspektasi, enjoy ... itu saran saya jika Anda ingin menonton film ini dengan puas.
Lupakan soal kekuatan cerita, lupakan beberapa plot hole, lupakan masih ribetnya Iko Uwais melafalkan dialog (yang kadang kurang terdengar) atau susahnya Yayan Ruhian beradegan drama. Bukan itu jualannya. The Raid 2 Berandal hanya soal action, action, and action.
Cerita masih melanjutkan perjalanan Rama (Iko Uwais) sebagai salah satu anggota kepolisian. Kali ini ia ditugaskan untuk menyamar masuk ke sindikat para mafia, untuk mengungkap keterlibatan polisi yang menjadi back-up geng mafia tersebut. Tugas yang sangat berat; sekali lagi Rama harus meninggalkan istri dan anaknya yang masih cilik. Jika Anda menyaksikan The Raid 1, Anda pasti ingat bahwa saat itu istri masih dalam kondisi hamil ketika Rama tinggalkan. Adegan ketika Rama berpamitan pada istri untuk sebuah tugas mustahil yang entah sampai kapan selesainya, cukup mengharukan, bukan karena akting Iko (yang, maaf, biasa saja) tapi justru adegan Henky Sulaiman (ayah Rama) yang menatap sedih pasangan muda tersebut sambil menggendong cucunya.
Misi Rama kali ini boleh dibilang misi bunuh diri, karena tidak ada seorangpun yang tahu mengenai misinya, kecuali Bunawar (Cok Simbara), seorang petinggi di kepolisian. Tak ayal ini mengingatkan saya pada saat John Travolta setuju untuk melakoni operasi Face-off untuk "memerankan" Nicholas Cage, tanpa ada yang tahu kecuali Bos dan dokternya.
Sejak misi Rama dimulai, penonton akan disuguhi berbagai adegan pertarungan yang dahsyat. Adegan perkelahian di penjara termasuk yang diramu apik. Terlihat sekali semua orang yang terlibat bukan jenis figuran yang hanya kena "pukulan kosong" macam sinetron, melainkan para petarung, atau minimal yang pernah mendapat pelatihan bela diri.
Memang ada beberapa adegan yang kurang masuk akal. Seperti, suasana penjara yang "luar negeri banget", karena rasanya di Indonesia tak ada kamar sel yang di dalamnya ada toilet duduk. Salju yang tiba-tiba turun tidak jelas, juga menjadi bahan tertawaan penonton. Bayangkan, Indonesia tiba-tiba bersalju, sangat tidak mungkin. Namun, saya pikir, dari awal film, tidak pernah disebutkan eksplisit "Jakarta", melainkan hanya "kota ini" saja. Meski di salah satu situs informasi film, disebutkan Jakarta sebagai lokasi dimana cerita terjadi. Yah, harus kita sadari bahwa sang Sutradara adalah bukan orang Indonesia. Mungkin Gareth Evans menganggap, suasana akan lebih dramatis jika disertai turunnya salju. Sama seperti ketika menonton Merantau, ada adegan Iko menelepon Ibundanya di kampung memakai telepon umum di sebuah phone booth yang warnanya merah macam di Inggris. Semua orang Indonesia rasanya tahu tidak ada ceritanya bisa menelepon interlokal di telepon umum yang pake koin. Eh, atau sekarang bisa? :p
Dialog juga hal yang (mungkin) tidak terlalu diutamakan oleh Evans. Pengucapan "loe", "kamu", "saya" semuanya campur aduk, kadang tidak terlalu jelas. Hingga, jika tidak jeli memerhatikan, bisa jadi penonton akan dibuat bingung dengan alur cerita. Bayangkan saja seorang Cok Simbara mengucapkan kalimat seperti, "Saya pengen loe cari tahu ..."
Iko, yang memang pada dasarnya (menurut saya) berakting datar, di sini sering tidak jelas mengucapkan dialog, meski jika dibandingkan dengan The Raid 1, sudah menunjukkan peningkatan kualitas. Hal yang lebih berat dihadapi oleh Yayan "Mad Dog" Ruhian. Di sini kang Yayan diberi porsi dialog yang cukup banyak, plus menunjukkan banyak emosi, sebagai seorang pembunuh bayaran yang terpaksa meninggalkan anak dan istri yang ia cintai. Secara penampilan, Kang Yayan pas sekali berperan sebagai pembunuh bersenjatakan golok panjang (machete), berpembawaan dingin, tanpa emosi. Tapi setiap kali ia mengucapkan dialog, saya tak tahan untuk tidak menowel suami di sebelah saya, karena kami sama-sama sepakat; wajah kang Yayan langsung berubah baik hati setiap kali ngomong (hehe).
Akting Arifin Putra adalah yang paling bersinar di sini. Saya hanya sekilas tahu mengenai Ipin (kabarnya, itu panggilan akrab sang aktor), maka saya agak tercengang juga melihatnya di sini. He is good ! ^_^; Ipin berperan sebagai Uco, anak salah satu Mafia (ada beberapa kelompok di sini) yang galau karena merasa tidak cukup bagus untuk diberi kepercayaan oleh ayahnya (diperankan secara apik, oleh Tio Pakusadewo). Ada adegan ketika Uco mesti "menghukum" beberapa orang untuk memenangi kepercayaan Bejo (Alex Abbad), yang membuat saya terpaksa agak menelan ludah dan sedikit menutup wajah. Jika Anda sudah menonton, Anda pasti tahu adegan yang mana.
Selain Iko dan Kang Yayan yang sudah orang kenal sebelumnya, ada pula tiga villain yang mencuri perhatian di film ini. Yang pertama, ada Julie Estelle, yang berperan sebagai Hammer Girl, dijuluki begitu karena ia menghabisi lawan-lawannya menggunakan palu. Lucu juga, ketika melihat Julie mengeluarkan palu dari dalam tasnya yang trendi. Bayangkan saja, cewek lain mungkin bawa tas kosmetik atau majalah, lah ini palu :p
Kemampuan Julie untuk bertarung membuat saya kagum. Kabarnya, Julie Estelle harus rela digembleng selama beberapa bulan, dan Julie sebelumnya tidak punya kemampuan bela diri sama sekali. Jadi, ketika Julie dengan ganas membabat lawan-lawannya (pake rok pula), ituu hebat banget.