"Ceileeee ... sombongnyaaa ... " (-dengan nada humor)
Begitulah kira-kira tanggapan yang sering saya dapatkan ketika saya bilang saya tidak menonton acara di televisi lokal. Padahal itu serius. Ada sih, beberapa acara yang 'sempat' ditonton dengan porsi agak banyak ataupun yang cuma 'diintip' aja. Saya menonton acara X Factor dan Indonesian Idol, Master Chef Indonesia dan Stand-up komedian di Kompas tv maupun Metro. Oh ya, di bulan Ramadhan saya menonton sinetron Para Pencari Tuhan. Di luar itu, tivi lokal mati.
Sudah sekitar enam tahunan ini, kami berlangganan tivi berbayar. Ambil paket murah meriah, tersedialah beberapa saluran film, anak-anak, olahraga dan lain sebagainya. Bukan karena kebanyakan duit, tapi memang dari dulu saya dan suami selalu malas melihat tayangan televisi yang entah-kenapa-kok-masih-banyak-aja-yang-nonton. Untuk berhenti menonton, belum bisa, karena kami termasuk hobi nonton. Maka, kalau tidak nonton dvd, pasti saluran anak di siang hari (kami punya empat anak usia 1-13 tahun), dan saluran film di malam hari.
Beberapa hari yang lalu, beberapa teman heboh membagi tautan soal 10 sinetron yang disinyalir berbahaya dan tidak layak tonton. Saya tidak ikutan nge-share, buat apa juga ; satupun judul sinetron yang tercantum di situ tak ada yang saya tahu. Jangankan sinetron, berita saja seringnya kami baca di internet. Soalnya kalo di televisi itu, sering didramatisir, males.
Salah seorang teman saya, Mark, Â berkebangsaan Belanda pun sempat mengatakan begini ketika kami membahas tentang acara televisi di Indonesia:
"Most Indonesian spend too much times in front of  TV, they really like to watch these silly programs, comedies which are not funny, and stuffs; they even turn on the TV all day long without really watching it."
Betul sekali Mark, itulah yang terjadi pada sebagian besar orang Indonesia. Termasuk, ehem, orangtua kami sendiri. Yaaah, kalo orangtua memang susah ya dijelaskan mengenai bahayanya televisi. Mereka itu ... ah sudahlah, ga usah dibahas :)
Rata-rata orang Indonesia, kalau saya perhatikan, menghabiskan sekitar 6-8 jam sehari di depan televisi (pengamatan di dapat dari kebiasaan orang-orang terdekat, teman dan wawancara dengan para murid). Itu sehari. Sebulan, berarti mereka menonton televisi sebanyak (jika diambil yang paling kecil, 6 jam) 180 jam. Setahun berarti 2160 jam (kalau hitungan saya betul).
Jika sehari 6 jam dihabiskan untuk nonton TV dan 8 jam untuk tidur, sudah 14 jam. 10 jam lagi mungkin digunakan untuk keperluan pribadi, bekerja/belajar dan bercengkerama dengan keluarga. Habislah sudah. Masihkah ada waktu untuk berkreasi, membaca/menulis, berolahraga dan lainnya? Ga tau tah, belom disurvey lagi.
Anyway, maksud saya menulis seperti ini bukan karena saya sungguhan melakukan jajak pendapat mengenai hal ini, namun lebih kepada ... miris sekali. Sekian jam dihabiskan hanya untuk memelototi sekian banyak acara yang entah dari bagian mana dianggap bermutu; ya sinetronnya, ya infotainmentnya, ya acara komedinya, ya semuanya.
Kalau sudah begini, kangen jaman kecil dulu. Di tahun 80-an, stasiun tellevisi cuma satu, TVRI. Itupun mulainya jam empat sore, dan menjelang Maghrib tak ada acara 'menarik' untuk ditonton. Hasilnya, semua anak betah ngendon di Masjid untuk belajar mengaji sampai Isya. Sekarang mah, boro-boro. Sehabis acara religi di subuh hari, terkadang ada stasiun TV yang langsung lanjut ke infotainment. Sehingga, pembicaraan yang ada hanyalah selebriti anu menggugat cerai suaminya, si anu digosipkan dekat dengan si anu, dan anu-anu lainnya.