Entah atas dasar pertimbangan apa, belakangan ini nama Dirut Perum Bulog Budi Waseso alias Buwas ramai muncul di media sebagai sosok yang dianggap pantas menggantikan posisi Amran Sulaiman sebagai Menteri Pertanian dalam kabinet yang dibentuk Presiden Jokowi mendatang.
Rekam jejak Buwas selama memimpin perusahaan pelat merah itu dinilai pantas untuk menggantikan Amran yang oleh banyak kalangan dinilai gagal menyokong program swasembada pangan yang dicita-citakan Jokowi.
Anngota Komisi IV DPR Fraksi PDIP Ono Surono menilai sikap tegas Buwas yang berani menolak impor beras dan mampu membuat gebrakan lewat program beras sachet 200 gram, patut mendapatkan aplaus.
Pujian jugadatang dari pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing. Ia bilang Buwas sangat berpotensi jadi orang nomor satu di Kementerian Pertanian, terlebih jika ia mampu membuktikan roadmap miliknya di bidang pertanian demi menghentikan impor produk pangan.
Jujur saja, jika hanya karena berani bilang stop impor, pantaskah seseorang dipercaya untuk memimpin Kementerian Pertanian? Bukannya berprasangka buruk, akhir tahun 2019 masih jauh. Ucapan stop impor tersebut belum dapat dibuktikan.
Berkaca pada tahun 2016, ketika surplus beras paling tinggi pada periode 2014-2017, Indonesia bahkan masih impor beras dengan angka yang tidak dapat dibilang sedikit, 1,28 juta ton. Rasa-rasanya kita juga tidak lupa, sejak tahun 2000 hingga saat ini, belum pernah Indonesia absen dari yang namanya impor beras. Padahal, negara kita merupakan salah satu negara penghasil beras terbesar di dunia.
Buwas pun juga punya rapor merah dalam tata kelola perberasan nasional. Kinerja BUMN yang ia pimpin saat ini tengah melempem di hulu maupun hilir. Di hulu, hal tersebut terlihat jelas dimana per april 2019 mereka baru mampu menyerap sekitar 274 ribu ton beras, dari target pengadaan beras sebesar 1,8 juta ton hingga akhir tahun ini.
Sementara di hilir, saat ini setidaknya masih 2,1 juta ton beras menumpuk di gudang-gudang Bulog. Alhasil pemerintah pun harus turun tangan membantu penyaluran beras Bulog.
Penyerapan gula petani oleh Bulog pun tengah terkendala. Per akhir April 2019 mereka baru mampu merealisasikan penyerapan gula petani sebesar 400 ribu ton, jauh dibawah target 600 ribu ton.
Masih banyak kekurangan lain yang bisa disebutkan. Lantas, jika hanya bermodal keberanian dan ketegasan, pantaskah Buwas diberi kesempatan?