Aku masih terlelap saat seorang suster memasuki kamarku, memeriksa aliran infusku dan mengecek detak jantung dan suhu tubuhku dengan seksama. Aku tersenyum sembari menggumamkan " Selamat pagi, Sus.. "
Wajah ramahnya terus menyunggingkan senyum " Bagaimana mba, sudah lebih enakan ? setelah minum obat tidur bisa tidur pastinya ya "
Aku mengangguk " Bagaimana jadwalku hari ini ? apa aku boleh istirahat atau...? " aku sengaja menggantung pertanyaanku, menggoda meski aku tahu jawabannya, siapa tahu aku beruntung dan bisa istirahat di ruanganku hari ini. Tubuhku masih nyeri hingga keseluruh sendi-sendi, rasa mual yang menerus, lemah dan perasaan tidak nyaman yang hanya membuatku ingin tetap tinggal di atas tempat tidur dan tidur sepanjang waktu..
Suster itu menjawab " Hari ini mba harus tetap menjalani khemotheraphy, meski lengan mba sudah memar-memar tapi jadwal untuk seri pertama adalah 5 kali dan tidak boleh ada jeda. Ini hari terakhir untuk seri pertama loh...kalau kondisi mba baik, nanti sore begitu selesai sudah bisa pulang "
Sedikit menghibur, dia tahu betapa seri pertama dari rangkaian khemotheraphyku sudah membuatku lelah.
Secara perlahan seluruh sel-sel dalam tubuhku dihancurkan, khemotheraphy yang bertujuan membunuh dan membasmi sel-sel kanker di dalam tubuhku mau tidak mau juga menghancurkan semua sel termasuk sel sehat. Ya ini adalah rangkaian peperanganku melawan kanker kolon ( usus besar ) stadium 3 setelah dua kali operasi pembedahan, dan tidak ada yang menyangka jika 5 tahun kemudian aku menjalani kembali operasi yang ketiga. Rangkaian umum bagi seorang pasien kanker, pembedahan, khemotheraphy, bahkan radiasi. Syukurlah aku tidak harus membiarkan diriku pasrah menjalani radiasi. Meski khemotheraphy intravena dan oral harus aku jalani dengan suka cita kalau mengeluh dan menunda hanya membuat sel kanker ganas itu berdansa riang.
Suster mendorongku melewati koridor RS, berada di atas kursi roda menuju ruang khemotheraphy meski bukan untuk yang pertama kali tetap saja membuatku berdebar. Tidak terlalu menakutkan memang jika sudah untuk kesekian kalinya, tapi tetap saja aku gamang.
Aku menyebutnya ruang harapan,... berada di lantai 5 di RS tempatku menjalani perawatan. Hanya ada satu tempat tidur disana, lemari pendingin berukuran kecil, TV , satu buah kursi dan meja dengan vas bunga plastik di atasnya. Tempat tidurku tepat disisi jendela kaca, sayangnya tidak ada pemandangan indah yang bisa ku tatap selain jalan raya, pertokoan dan lalu lalang kendaraan disepanjangnya.
Tidak lama seorang suster khemotheraphy masuk, dengan seragam kebesaran ruang khemo. Jubah operasi hingga dua rangkap, masker kepala dan wajah, sarung tangan plus sepatu boat. Suster menolak saat aku meminta supaya AC di ruangan ini dikecilkan karena tubuhku mulai kedinginan, dia menawarkan alternatif menambah selimut dari pada mengecilkan AC, alasannya radiasi obat.
Biasanya kami bercakap-cakap, tapi hari terakhir di seri pertama sudah membuatku lelah. Perlahan dia memeriksa tampon infusku, dan aku pasrah karena vena ku bengkak dan harus di tusuk ulang ditempat yang berbeda.
" Semoga sekali tusuk dapet ya mba, soalnya vena mba sudah bekas khemo semua nih dan lagi venanya mba halus banget jadi mudah pecah. Untuk khemotheraphy bulan depan, mba coba olah raga supaya otot venanya lebih terlihat jadi mudah untuk pasang jarumnya"