Terjadi anomali jagung di Tulungagung, Jawa Timur. Daerah penghasil jagung yang kata Kementerian Pertanian (Kementan) sedang surplus produksi itu, kini malah jadi pasien penerima donor jagung impor.
Kepada wartawan, Kepala Bulog Sub Divre 5 Tulungagung, mengungkapkan bahwa para peternak di daerah yang katanya surplus itu, sudah pada tingkat kekurangan jagung. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan jagung bagi para peternak, Bulog sudah meminjam jagung dari sejumlah perusahaan pakan sebanyak 11 ribu ton.Â
Pinjaman jagung sebanyak itu diajukan Bulog atas dasar permintaan peternak Tulungagung dan Blitar itu sendiri. Rencananya, jagung pinjaman itu akan dikembalikan Bulog saat jagung impor dari Brazil tiba di pelabuhan dalam waktu dekat.Â
Mereka menyatakan bahwa Tulungagung dan Blitar akan mendapatkan alokasi 30.000 ton jagung impor, dari total 60.000 ton kuota untuk Jawa Timur. Tingginya alokasi jagung buat Bulog Sub Divre Tulungagung karena permintaan peternak yang sangat tinggi.
Klaim surplus jagung yang terdengar seperti omong kosong itu, sebenarnya sudah pernah disampaikan oleh Bulog pusat, beberapa waktu lalu. Sekretaris Perum Bulog, Siti Kuwati mengungkapkan, adanya permintaan impor jagung melalui rapat koordinasi terbatas atau rakortas, menunjukkan tidak ada stok jagung.Â
Siti Kuwati mengungkapkan hal itu untuk menanggapi pernyataan Menteri Pertanian, Amran Sulaiman yang menyatakan bahwa impor jagung ditujukan untuk cadangan stok di Bulog. Karena menurut Bulog, jika memang benar ada surplus jagung dan harganya sesuai dengan HPP (harga pembelian pemerintah) maka sudah pasti jagung dapat diserap oleh Bulog.
Sumber informasi Jawapos.com
Ogah berpolemik lebih lanjut, Bulog pun malas menanggapi klaim-klaim Mentan lebih lanjut. Lagipula Bulog lebih cerdas. Menurut mereka, urusan data pangan, merupakan wilayah otoritas Badan Pusat Statistik. Sehingga benar-tidaknya klaim Mentan mengenai surplus jagung, harus dikonfrontasi dengan data BPS.
Di tingkat pusat, Mentan boleh saja beradu retorika. Tapi di lapangan atau daerah, segala argumen atau alasan Mentan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lagi pula, yang dihadapi peternak di daerah bukanlah data, tapi fakta.