Belum usai polemik pemberian konsesi tambang kepada organisasi masyarakat (ormas), pemerintah melalui inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI kabarnya juga akan memberikan izin kepada perguruan tinggi untuk mengelola tambang. Ihwal polemik ini sudah muncul sejak Senin, 23 Januari 2025.
DPR melalui Badan Legislasi menyepakati Rancangan Undang-undang (RUU) atas perubahan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Salah satu poinnya adalah pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi melalui skema Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Dari isi draft RUU Minerba Usulan inisiatif DPR yang bocor ke publik, setidaknya ada dua pasal yang mengakomodir perguruan tinggi agar dapat mengelola tambang. Pertama, pada penambahan Pasal 51A yang memuat ayat tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dan batubara dengan cara pemberian prioritas dengan mempertimbangkan luas, status perguruan tinggi terakreditasi dan peningkatan akses dan layanan pendidikan bagi masyarakat.
Kedua, Pasal 75 terkait pemberian IUPK yang akan diberikan kepada berbagai badan usaha, termasuk badan usaha perguruan tinggi, badan usaha organisasi kemasyarakatan keagamaan, koperasi, BUMN, BUMD, Badan Usaha Kecil dan Menengah, serta Badan Usaha Swasta.
Saya sendiri sedikit agak khawatir dengan rencana yang diambil pemerintah dengan pemberian WIUP terhadap perguruan tinggi. Bukan karena underestimate terhadap kemampuan kampus untuk mengelola secara baik dan benar. Namun, saya kira dalam pengelolaan usaha pertambangan ini cukup dilakukan oleh badan usaha yang memang benar-benar mampu secara sumberdaya dan kapital. Sehingga, tidak berlebihan jika saya menganggap ini sebuah ide yang cacat secara nalar.
Belum lagi jika kita melihat bagaimana akreditasi perguruan tinggi yang memiliki program pertambangan. Berdasarkan pantauan pada portal pemutu.kemdikbud.go.id (Pemantauan, Evaluasi dan Penjaminan Mutu) yang diakses pada tanggal 23 Januari 2025, setidaknya terdapat 73 Program Studi dari berbagai PTN dan PTS. Program studi tersebut tersebar di berbagai kampus dari mulai jenjang D2 hingga S3.
Namun, hanya dua program studi yang memiliki akreditasi unggul, yaitu: Teknik Pertambangan Universitas Hasanuddin dan Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta. Berarti tidak lebih dari 3% program studi yang memiliki akreditasi unggul. Selebihnya, rata-rata kampus hanya memiliki akreditasi baik dan baik sekali, termasuk kampus yang menyandang gelar Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTNBH).
Polemik ini pasti mendapat respon beragam dari perguruan tinggi. Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid misalnya menolak usulan WIUP bagi perguruan tinggi. Ia menilai jika industri ekstraktif terbukti mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Meski demikian, koleganya yang lain seperti Rektor Universitas Airlangga (Unair), Prof. M. Nasih dan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Prof. Sumaryanto mendukung apa yang diinisiasi oleh pemerintah. Justru ketidak kompakan ini yang akan mengakibatkan berbagai konflik kepentingan.
Narasi yang diciptakan terkait pengelolaan tambang oleh kampus ini terdengar heroik sebenarnya. Meningkatkan kualitas pendidikan dengan memberikan kesempatan untuk menurunkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan memberikan kesempatan beasiswa terhadap mahasiswa. Namun, sekali lagi ini bukanlah jalan yang tepat.
Mengeruk kekayaan alam secara ugal-ugalan yang akan berdampak pada rusaknya lingkungan untuk membiayai pendidikan bukanlah sesuatu hal yang ideal. Bayangkan saja, pendidikan kita perlu disubsidi dari cara-cara seperti itu. Lantas bagaimana dengan tanggung jawab moralnya?
Â
Bagi saya ada cara lain, misal dengan meningkatkan dan mengoptimalisasi dana pendidikan abadi. Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, besaran dana abadi yang telah disalurkan pemerintah kepada Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sudah sebesar 140 triliun rupiah pada tahun 2024. Dan justru ini yang perlu dimanfaatkan secara betul dan cermat.