Oleh Irman Syah
Setelah balik ke Jakarta dari kampung halaman, di Magek Bukittinggi, aku kembali beraktivitas di Sastra Kalimalang yang berlokasi di bantaran Pinggir Kalimalang, samping kampus Unisma (Universitas Islam 45) Jl. Cut Meutia Bekasi. Ya, sebuah kampus tertua yang masih bertahan di tengah  maraknya suasana dan bisnis pendidikan dewasa ini. Ayo berkarya!
Kegiatan pertamaku langsung kunjungan ke Pesantren dan STAI At-Taqwa Bekasi. Tujuannya  menghadiri dan mengisi acara ‘Malam Sastra Santri’ di sana. Kegiatan ini  dimeriahi oleh grup MLK (Mandi Lima Kali di Kalimalang), sebuah grup Pengamen Anak-anak Lampu Merah, grup Studio Teater Korek, PSM Unisma, Beska (Bengkel Seni Kartini), Beta (Bengkel Teater At-Taqwa), Teater Artery, beserta Sastra Kalimalang.
Aku ingat pada dua orang kemenakan yang kutinggalkan Wahyu dan Isra, yang juga sekolah di Pesantren An Nur di Jambi, dan bahkan sempat kusinggahi mereka ketika mau balik ke Jakarta. Apa yang mereka pelajari di sana memang sangat kompleks. Selain bahasa Arab sebagai materi wajib, mereka juga diwajibkan untuk fasih dalam berbahasa Inggris. Mata komunikasi untuk  memahami sekian banyak ilmu kehidupan itu tentu membutuhkan kunci semacam ini. Bahasa  sangat penting agar rasa dan pikir menjadi matang.
Menurutku, tentu materinya juga tak jauh berbeda dengan Pesantren At Taqwa yang berada di Bekasi ini. Karenanya, aku terpanggil untuk menghadiri dan sengaja memberikan oleh-oleh, sebuah pertunjukan ‘Puisi Rohmantik’. Bangunan religiusitas yang telah terbangun sebelumnya akhirnya mengalirkan performance ‘puitik-etno’ yang kumiliki dengan kemasan dendang puisi yang bernafas tradisi. Kemasan acara yang meriah dan bersahabat itu semakin mengutuhkan silaturrahmi, baik kalangan intelektual dan juga termasuk anak-anak bangsa yang tengah terpikat dengan  lampu merah.
Respon yang cukup baik ini terbukti dengan ramainya kehadiran pelajar/mahasiswa dan kelompok komunitas serta penonton lain ikut khusyuk dan riang, serta hampar-menghampari di  halaman depan Laboratorium Kampus STAI Bekasi. Ane Matahari, salah seorang tokoh dan Pembina Sastra Kalimalang turut memberi kontribusi. Seniman dan Pelopor Konsep Art Terapy melalui program budaya Komunitas Sastra Kalimalang ini turut aktif dan ikut membidani lahirnya format ‘Sastra Santri’ dengan pilihan konsep ‘Menggali Cinta Ilahi’.
Ya. Benarlah adanya, dalam kondisi mentalitas bangsa yang dirundung luka ini perlu retropeksi yang merujuk bahasa kembali di dalam bungkah peradaban. Penggalian makna ‘kalam’ atas nikmat cinta dan keridhaan akan membahasakan sastra lewat sentuhan, ya, sebagaimana inti makna syair yang sesungguhnya dinukilkan Wahyu di dalam surat dan kitab-Nya.
Silaturrahmi kreatif di STAI AtTaqwa yang bertajuk ‘Malam Sastra Santri’ ini, ke depannya juga akan tetap siap digelar dan diagendakan tercipta sebulan sekali. Harapannya tentulah untuk membangun dan menumbuhkan kehalusan budi pekerti manusia lewat prilaku generasi muda yang memahami kalam.  Inilah yang digali dalam prosesi cipta karya muda dengan etimologi kecintaannya yang berdasar.
Dmikianlah, ketika budaya menjadi seremonial belaka, penggalian terhadap ‘kata yang sebenar-benarnya kata’ sesuai kebutuhan bangsa manusia ini sudah semestinya bersuara. Konsep Sastra Santri ini mempunyai peluang besar dan universal dalam menebar syi’ar yang  mengembalikan ‘kata’ kepada ‘kalam’. Cara pandang dan pengungkapan makro ini tentu akan memiliki peluang besar dalam melahirkan karya dengan bobot sastra yang punya keistimewaan. Tulisan ini pun terhenti di sini, di degup harapan, tapi aktivitas budayaan dan kecintaan pada Penguasa alam semesta tetap hidup sepanjang zaman. @mahkotabahasa **
RoKe’S, September 12, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H