Mohon tunggu...
Irma Kempinski
Irma Kempinski Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Panen Raya, Bulog Bisa Apa?

27 Maret 2019   19:48 Diperbarui: 27 Maret 2019   20:04 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini Indonesia sedang panen raya. Dimana-mana terdengar kabar bahwa petani sedang menuai padi di sawah. Hasil tani sedang melimpah ruah. Namun sayangnya, Badan Urusan Logistik (Bulog) selaku perusahaan pelat merah yang menangani urusan bahan pangan pokok, seperti kewalahan.

Realisasi serapan beras Bulog pada masa panen raya ini masih terbilang rendah. Berdasarkan data dari Bahan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian (Kementan), realisasi serapan beras Bulog per 13 Maret adalah sebesar 20.844 ton. Padahal target serapan beras selama Januari hingga Maret 2019 ditetapkan sebesar 1,45 juta ton.

Sumber

Ada beberapa alasan yang dikemukakan Bulog terkait rendahnya penyerapan beras oleh mereka. Misalnya keharusan Bulog untuk menyerap beras sesuai harga pembelian pemerintah (HPP) yang sudah ditetapkan pemerintah.

Penerapan HPP membuat daya serap Bulog terhadap beras petani menjadi kurang fleksibel. Adanya HPP justru menghambat kerja Bulog untuk menyerap gabah dan beras dari petani. Bulog harus membeli gabah pada kisaran Rp4.030/kg, di saat BPS pada Februari lalu mencatat harga gabah ada di kisaran Rp5.114/kg, dengan kualitas terendah ada di angka Rp4.616/kg.

Angka ini tentunya jauh dari patokan harga yang Bulog miliki, sehingga tidak menutup kemungkinan petani memutuskan untuk menjual ke tengkulak dan pada akhirnya akan mengganggu stabilitas harga beras di pasaran.

Selain alasan tadi, Bulog juga menghadapi kesulitan untuk melakukan penyerapan karena kanal penyaluran BULOG yang hilang semenjak perubahan skema program bantuan beras sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) atau voucher pangan. Melalui program itu, penerima bantuan memiliki akses terhadap jenis beras lain sehingga beras Bulog tidak menjadi satu-satunya opsi beras bantuan. Hal ini mengakibatkan permintaan beras Bulog berkurang.
 
Ketika permintaan berkurang, Bulog pun pada akhirnya relatif sulit untuk melakukan penyerapan dari petani. Secara rasional, pedagang tidak akan menambah stok ketika mereka sendiri kesulitan untuk melakukan penjualan. Hal ini juga berlaku dengan kondisi Bulog.

Meski sebenarnya masih ada celah lain yang bisa diusahakan oleh Bulog. Misalnya dengan program on farm atau pembudidayaan mandiri, kemitraan, dan sinergi yang harus lebih banyak lagi dilakukan oleh Bulog di sejumlah daerah.

Dengan program on farm tersebut maka ke depannya petani tidak ada lagi yang mengeluh mengenai harga gabah yang rendah atau dimainkan oleh pihak tengkulak. Karena seluruh kegiatan usaha tani didanai dan dikelola langsung oleh Bulog di lahan milik sendiri serta lahan sewa yang berasal dari pihak lain.

Oleh karena itu, sebenarnya ada cara-cara agar mereka tidak kedodoran menangani panen raya dan mengelola stok di gudangnya. Namun pertanyaannya, apakah mereka mau serius mengerjakannya atau tidak?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun