Mohon tunggu...
Irma Kempinski
Irma Kempinski Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Money

Jangan Buat Petani Berpolitik

26 Maret 2019   22:35 Diperbarui: 26 Maret 2019   22:40 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kentang (ilustrasi oleh Tribunnews Jateng)

Mengeluh adalah hal yang lumrah. Terutama bila situasi dan kondisi tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Hanya saja, keluhan itu biasa dilakukan oleh perorangan. Sedangkan bila dilakukan bersama atau lebih dari satu orang, maka keluhan itu bisa menjadi sebuah aksi unjuk rasa.

Harga kentang merosot (meme edit pribadi)
Harga kentang merosot (meme edit pribadi)
Mungkin saja, itu yang ada dalam benak petani kentang di Dieng saat ini yang merana lantaran merosotnya harga kentang. Kini, harga kentang di tingkat petani di dataran tinggi Dieng hanya di kisaran Rp 5 ribu. Dengan harga demikian, petani harus menelan kerugian karena hasil panen tak cukup menutup modal. 

Rendahnya harga jual kentang itu tak sepadan dengan biaya produksi yang semakin membengkak. Mulai biaya pembelian bibit, upah tenaga kerja, hingga modal pembelian pupuk atau pestisida yang penggunaannya semakin masif dan mahal.

Menurut hitungan petani setempat, untuk bisa menutup modal, paling tidak petani harus mendapatkan harga minimal Rp 7 ribu hingga 8 ribu per kilogram. Jika ingin untung, harga yang didapat tentunya harus lebih dari itu.

Sumber

Wajar saja bila kondisi mendesak ini membuat petani kentang Dieng ingin berunjuk rasa. Mereka ingin agar pemerintah berbuat sesuatu, memperbaiki harga kentang agar mereka tidak terus-terusan merugi. Pasalnya, bertani kentang sudah jadi mata pencaharian utama warga dataran tinggi Dieng, mulai Kecamatan Kejajar Wonosobo hingga Kecamatan Batur dan Wanayasa Banjarnegara. Anjloknya harga kentang pastinya memukul perekonomian warga di sejumlah kecamatan itu.

Mereka bisa saja memobilisasi massa untuk menyampaikan aspirasi mereka ke DPR atau Kementerian pusat. Seperti yang mereka pernah lakukan dulu, tahun 2016 saat harga kentang jatuh di kisaran Rp 6 ribu sampai 7 ribu per kilogram dari semula Rp 12 ribu.

Kala itu, ribuan petani Dieng menyerbu ibu kota untuk berdemonstrasi di Kementerian Perdagangan. Mereka menuntut agar pemerintah menghentikan peredaran kentang impor yang disinyalir jadi pemicu harga kentang dalam negeri jatuh.

Masalahnya, bila para petani ini menggelar unjuk rasa, mereka akan dianggap sedang berpolitik. Keluhan dan tuntutan mereka akan dinilai sebagai gerakan bersentimen negatif untuk pemerintah. Karena bagaimanapun juga, jatuhnya harga kentang ini kebetulan bertepatan dengan momentum tahun politik. Terlebih saat ini, Pemilu semakin dekat. 

Kendati tidak ingin berpolitik, para petani kentang ternyata tetap melek politik. Mereka masih mengurungkan niat untuk berdemonstrasi untuk menyikapi jatuh harga kentang ini. Salah bertindak, mereka malah akan dicap ada di kubu anti pemerintah. Padahal aksi mereka ini tidak ada hubungannya dengan politik, tapi murni untuk kepentingan perut petani dan keluarganya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun