Mahalnya harga daging sapi di Indonesia sebenarnya bukan sebuah rahasia lagi. Hampir semua orang tahu dan sepakat, daging diibaratkan sebagai makanan mewah yang dikonsumsi kaum berpunya. Bagi mereka yang uangnya pas-pasan, makan daging mungkin hanya terjadi setahun sekali, yakni ketika panitia idul qurban membagikan jatah daging.
Hitungan kasarnya, daging sapi lokal sepertinya melewati tujuh hingga sembilan tahapan sebelum sampai di tangan konsumen.
Rantai distribusi dimulai dari peternak yang menjual sapi ke pedagang berskala kecil atau ke feedlotter (penggemukan). Kemudian berlanjut ke pedagang berskala besar, pedagang regional, pedagang grosir di rumah potong hewan, pedagang grosir di pasar, pedagang eceran hingga ke konsumen. Hal ini harus menjadi perhatian pemerintah karena biaya-biaya tersebut pada akhirnya harus ditanggung oleh konsumen.
Panjangnya rantai distribusi daging sapi lokal memengaruhi harga daging sapi tersebut di pasaran. Karena menimbulkan biaya-biaya tambahan, seperti biaya transportasi.
Ironisnya, daging sapi impor bisa lebih murah karena sistem distribusinya yang Cuma membutuhkan maksimal dua titik distribusi untuk mencapai konsumen. Rantai distribusi ini tercipta karena daging sapi impor merupakan produk siap masak yang tidak membutuhkan tempat penggemukan hewan, rumah potong hewan dan para pedagang di tempat penampungan ternak sebelum dapat dikonsumsi.
"Faktor lain yang menyebabkan daging sapi lokal cenderung lebih mahal adalah kurangnya kapasitas peternak serta minimnya penguasaan mereka terhadap teknik ternak dan teknologi yang efisien.
Efisiensi peternakan dapat dimulai dengan adanya modernisasi praktik peternakan yang berfokus pada minimalisasi biaya produksi. Misalnya modernisasi alat pemotongan.