Banda Aceh, 24 Desember 2004
“Betul kau akan balik?
“Iyo Bang, tak enak hatilah kalau sampai tak datang”
“Siapa yang nikah?
“Kak Martha, kakaknya si Arjon. Keluarga kami sudah seperti keluarga sendiri ya seperti kita inilah sudah seperti keluarga sendiri lagipula sudah kangen keluarga juga”
“Apa tak bisa diundur?
“Nggak bisalah Bang El, rencananya besok Kak Martha pemberkatan pernikahan sekalian natalan. Jadi nanti siang aku berangkat”
“Kapan kau balik sini? Jangan lupa kau masih ada tugas, mau minta bantuan siapa lagi kalau bukan aku”
“Iya Bang El, Tiur ingat itu! 27-lah aku balik sini”
“Beruntung kau Tiur, anak laki-laki ibu kos-mu adalah asdosmu. Tak payahlah kau kalau ada kesulitan tugas”
“Jangan dengarkan perkataan Bang El, Tiur. Asdos elektro-mu satu itu memang belagak” Ifat, adik Bang El menyahut. Ifat satu angkatan denganku, beda fakultas.
Kami berdua tertawa. Bang El mengacak jilbab pink Ifat.
Ujung Batu, 26 Desember 2004.
Pagi-pagi selepas subuh aku sudah siap di rumah Kak Martha membantu menyiapkan pesta. Di tengah menyiapkan pesta kami merasakan sedikit guncangan gempa, aku pikir itu hanya gempa biasa.
Tergopoh Mak menemuiku. Rumahku dan rumah Kak Martha hanya dipisahkan dua rumah, rumah Joshua dan Rahman, yang juga kawan sebayaku sama halnya dengan Arjon adiknya Kak Martha.
“Aceh gempa, Tiur. Coba tengok berita di TV!
Sekektika bunga mawar merah yang sedianya akan aku rangkai untuk hiasan pelaminan aku lempar. Terkesiap dan terkejut demi mendengar kabar dari Mak.
Gempa tektonik berkekuatan 9,3 SR yang disertai gelombang pasang tsunami setinggi 9 meter berpusat di Samudra Hindia lepas pantai barat Aceh di kedalaman 20 km dan berjarak sekitar 149 km selatan kota Meulaboh, Nanggroe Aceh Darussalam itu telah menyapu Indonesia, Sri Langka, Thailand, Maladewa, Bangladesh, Malaysia dan India. Di Banda Aceh sendiri sekitar 50 % bangunan rusak parah. Pemerintahan Aceh kini lumpuh total.
Syok. Layar televisi di ruang tengah rumah Kak Martha aku pandangi, tak berkedip. Aku coba menghubungi Bang El dan keluarganya, gak bisa. Aku hubungi juga kawan-kawan lainnya. Semua tak bisa. Aku panik karena hubungan telepon ke Aceh putus total.
Tak tebersit bahwa guncangan pagi itu adalah gempa yang disertai gelombang tsunami dahsyat yang dapat menewaskan ribuan orang di Banda Aceh dan Sumatra Utara.
Banda Aceh, 26 Desember 2004…
Langit pekat. Gelap. Matahari seakan tertimbun awan. Penduduk berlarian dengan wajah pasi. Bang El keluar rumah saat mendengar teriakan “air…air…air”
“Air meluap…air laut meluap!
“Ombak besar dataaang!
Suara itu riuh saling bersahutan, meminta orang-orang untuk segera lari ke tempat yang lebih tinggi untuk menghindari air ombak.
Ho neu jak, Bang Zul? Bang Zul tetap berlari dan hanya sekilas menoleh kearah El tanpa memberi jawab, wajahnya pias
Air? Air laut? Darimana? Sekian detik kemudian pertanyaan Bang El terjawab. Gulungan air hitam pekat itu membawa segala rupa benda runtuhan bangunan, pohon-pohon yang tumbang hingga mobil! Tingginya mungkin lebih enam meter seolah mengejar siapa saja yang ada di depannya. Tubuh Bang El gemetar demi menyaksikan tarian ombak yang tak masuk nalar itu.
“ Ya Allah, peuna ni? Mak, Ifat lari naik ke lantai ataas, bagah!
“Gemuruh suara apa itu, El? Tanya Mak
Karena ingin tahu alasan mengapa mereka disuruh naik ke lantai atas, justru Mak dan Ifat lari mendekati Bang El. Tanpa ada waktu untuk mereka berlari sembunyi setelah tahu apa yang terjadi, mereka bertiga tergumul tarian ombak yang dahsyat. Jantung mereka berdegup kencang, payah bernafas. Dirasakan nafasnya tersengal satu-satu sudah diujung bibir. Mereka bertiga merasakan kematian telah merambatinya dengan perlahan.
“Ya Allah aku sudah tak sanggup menari bersama dengan ombakmu. Aku pasrah jika harus mati detik ini juga…Allaaah…..
Suaranya tertelan sendiri diantara ombak yang menggulung……
Sejenak kemudian, keadaan kota menjadi mati oleh tawa yang ada hanya jeritan histeris dan rasa ketakutan. Ratapan dan tangisan mengantarkan kepergian jiwa-jiwa terkasih. Kaki-kaki rapuh karena luka gontai mencari sanak famili diantara puing-puing sampah kiriman ombak di langit Baiturrahman…
Ombak di Langit Baiturrahman
Semua yang ada seketika berlalu
Berlalu tanpa memberi tahu
Berlalu sudah citaku di bumi rencong
Mimpiku berlalu, pun asaku
Lalu cinta, rinduku pun berlalu
Berlalu bersama gemuruh ombak yang angkuh
Rubuh tubuh oleh ombak terapung di lautan angin
Raga tak mampu menahan sapuan bah yang menggulung
Menghadirkan kematian yang tak terkisahkan
Karena hadirmu bagaikan sihir ombak yang mengabarkan kedukaan
Berkisah tentangmu adalah air mata
Bahkan bungong jeumpa pun tak mampu untuk menghibur
Saman menjelma menjadi tarian maut
Pun tabuhan rapa’i, menyayat
Sang murai tak sanggup berkicau
Dan aku lahir dari luka-luka yang tersisa dari ombak di langit Baiturrahman
Do’a untukmu duhai saudara, kawan dan masyarakat Aceh…
Bahagia dan damai serta sejahtera selalu untukmu…
*****************************************************************
Ket:
Ho neu jak= mau ke mana?
Peuna= ada apa
Bagah= cepat
Bungong jeumpa= lagu tradisional Aceh
Saman= tarian Aceh
Rapa’i=alat perkusi tradisional Aceh
______________________________________
Pagi ini, sepuluh tahun yang lalu.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H