Mohon tunggu...
Irma Inong
Irma Inong Mohon Tunggu... lainnya -

aku, ada

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Namaku Cut Seutia

9 Oktober 2014   17:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:44 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14128243101591428530

[caption id="attachment_365080" align="aligncenter" width="300" caption="koleksi Inong (Rencong)"][/caption]

“Sebagai perempuan Aceh, pantang bagi kita untuk meneteskan air mata pada orang yang telah syahid di medan pertempuran. Bangkitlah! Perjuangan kita masih panjang!

Cut Seutia mendengar suara Cut Nyak Dien saat menyemangati putrinya, Cut Gambang, agar mereda tangisannya karena ayahnya, Teuku Umar telah gugur tertembak peluru saat melawan Belanda. Cut Seutia dapat merasakan getaran dalam suara Cut Nyak Dien.

Perempuan perkasa dari Lampadang itu pandai menyimpan tangisnya rapat-rapat di sudut hatinya agar tak tampak oleh putrinya. Sebagai ibu, dirinya harus kuat agar Cut Gambang tak merasa kehilangan ayahnya, bahwa masih ada ibunya tempat untuk bersandar dan keberanian Cut Gambang biar tak hilang.

Ketika mendengar kabar bahwa Teuku Umar telah gugur, Cut Nyak Dien semakin marah pada Kaphe Ulanda. Cut Nyak Dien semangatnya semakin berkobar dan berjanji akan menghancurkan Belanda dari tanah Aceh. Peristiwa ini mengingatkan saat kematian suami pertamanya Teuku Cek Ibrahim Lamnga yang gugur bertempur Belanda di Gle Tarum pada tahun 1878.

Cut Seutia, salah satu pejuang muda yang turut dalam pasukan Cut Nyak Dien. Usianya baru 17 tahun tapi semangatnya keras tak pernah redup mendampingi Cut Nyak Dien dalam bergerilya di medan perang.  Tatapan matanya tajam menyiratkan keberanian dalam meghadapi penjajah, bola matanya bersih, air mukanya sayu, rencong tak pernah lepas dari sarung yang melilit dipinggangnya. Dialah perempaun muda yang gagah berani.

Pada tahun 1873 saat Belanda menyatakan perang melawan Aceh, ayah Cut Seutia adalah salah satu pejuang Aceh di bawah pimpinan Panglima Polim. Sayangnya ayahnya harus meninggal saat melawan Belanda yang mendarat di pantai Ceureumen di bawah komando Johan Harmen Rudolf Kohler yang akhirnya bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya.

Setelah gugurnya Teuku Umar oleh Kaphe Ulanda pada tahun 1899, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan suaminya. Bersama pasukan kecilnya Cut Nyak Dien melawan Belanda dengan bergerilya di pedalaman Meulaboh.

Cut Seutia selalu ikut bertempur bersama pasukan Cut Nyak Dien. Hingga suatu hari tiba-tiba pasukan Belanda sudah mengepung markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu dari segala penjuru. Mereka bertempur mati-matian. Sudah tak terhitung sudah berapa banyak pasukan Belanda yang terkena sabetan rencong Cut Seutia.

Karena usia yang sudah senja akhirnya langkah Cut Nyak Dien dapat dihentikan oleh Belanda. Rupanya Pang Laot salah satu anak buah Cut Nyak Dien telah melaporkan keberadaan Cut Nyak Dien sehingga dengan mudah Belanda mengetahuit markas Cut Nyak Dien. Cut Seutia bersama Cut Gambang berhasil melarikan diri dari kepungan Belanda.

Dengan tertangkapnya Cut Nyak Dien oleh Belanda tak menyurutkan nyali Cut Seutia dalam melawan Belanda bahkan membakar semangat perlawananannya. Ia masih berhubungan dengan pejuang Aceh lainnya yang tidak tertangkap. Strategi telah ia susun.

Bersama rintik hujan yang membasahi tanah Aceh sejak petang tak menggoyahkan langkahnya untuk bergegas meniti tangga ke atas rumah panggung yang sejak pagi tadi ia intai.

Cut Seutia dengan tegak berdiri di hadapan para Kaphe Ulanda tanpa rasa takut. Dari balik baju kurungnya yang dililit sarung ia menyimpan sesuatu yang berdetak. Saat pasukan Belanda mendekat akan menangkap Cut Seutia tiba-tiba benda dari baju kurungnya meledak dan menghancurkan ruangan yang penuh dengan pasukan Belanda.

Bersamaan dengan ledakan yang meluluhlantakkan rumah panggung itu sayup-sayup Cut Seutia mendengar suara Cut Nyak Dien “Berjuang melawan kaphe-kaphe penjajah merupakan bagian dari keimanan, setelah ini surge menantimu”

Epilog: Cut Nyak Dien kemudian diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat dan meninggal serta dimakamkan di Sumedang. Tahun 1964 Cut Nyak Dien mendapat gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

-------------------------------------------------------------------------------

Catatan : Cut Seutia hanyalah nama fiksi

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun