[caption id="attachment_341857" align="aligncenter" width="561" caption="Ilustrasi/ Kampret (Stefanus Leba)"][/caption]
Sigli, tahun 1997…
Keadaan gampong kini berubah mencekam. Dari banyak pembicaraan, aku mendengar seringkali ada orang hilang dan beberapa hari kemudian ditemukan sudah tak bernyawa. Terakhir aku mendengar meninggalnya Teuku Ridho yang ditemukan Bang Malik di tepi pantai saat pulang melaut.
Orang-orangpun enggan berladang. Ladang-ladang kini berubah menjadi semak tak terurus. Harga breuh (beras) melambung selain karena ladang-ladang penduduk tak lagi menghasilkan pade juga karena pengiriman bahan makanan ke Aceh lumayan terganggu dengan adanya konflik.
Aku dan kawan-kawanku tak lagi berani mengaji ke meunasah (surau) selepas maghrib. Orang tua kami tak berani melepas anak-anaknya di malam hari. Meunasah kini sepi, tak hidup oleh suara-suara hafalan, shalawatan dan tawa riang anak-anak.
Setiap malam suasana gampong sunyi dan mencekam. Begitu hari melepas senja aku dan orang-orang tak berani beraktivitas di luar rumah. Yang ada hanya rasa was-was meliputi penduduk. Seolah bertanya dan menunggu peristiwa apa yang hendak terjadi.
Aku semakin mengkhawatirkan kedua abangku yang sudah tiga hari belum balik juga dari kegiatan forum kepenulisan di Banda Aceh.
“Bang, bek neu tinggai lon (Bang, jangan tinggalkan aku). Cukup bapak saja yang meninggalkan kita tanpa kabar saat ke ladang tak balik hingga kini”
Sya’ban, tahun 1997…
Terdengar pintu digedor dengan keras. Aku dan Mak saling pandang ketakutan. Pintu dibuka secara paksa. Dua orang mendekati kami.
“Ayo, katakan dimana kalian sembunyikan Hasan dan Ramli! Bentak salah satu diantara mereka.
“Kami tak menyembunyikan Hasan dan Ramli, mereka tak bersalah apa-apa terhadap kalian!” rupanya jawaban Mak membuat dia marah, didorongnya Mak hingga terjengkang dan kepalanya membentur ujung siku meja kayu. Samar aku melihat cairan merah meleleh dari kening Mak.
“Mengaku saja, kalau mereka anggota GAM!
“Bukan Pak! Kami bukan anggota GAM!
Buggg!! Kursi ditendangnya. Aku dan Mak kaget, semakin membuat kami ketakutan. Akhirnya mereka pergi dengan menyisakan perih di dada.
Bang Hasan, sudah tiga tahun kuliah di FMIPA Unsyiah. Bang Ramli, Abang keduaku sudah kelas dua SMA dan aktif di kegiatan mapala sekolah.
Ramadhan, tahun 1997…
Aku hamper pingsan, mayat yang ada dihadapanku adalah abang tertuaku, Bang Hasan. Ada banyak bekas penganiayaan di sekujur tubuhnya, darah segar telah mengering di pelipisnya. Nampak senyum tersungging dibibirnya.
Malam itu, saat perjalanan pulang usai tarawih di masjid kampus, Bang Hasan dicegat segerombolan orang. Digelandangnya Bang Hasan oleh-oleh orang-orang yang tak dikenalnya dan dibawanya naik mobil dengan mata tertutup kain.
Mayat Bang Hasan dibuangnya di ladang milik Pak Cek Hasbi yang tak jauh dari perkampungan.
Syawal, tahun 1997…
“Bang Ramli…
“Hmm, na peue (ada apa), Dik?
“Abang tak ikut-ikutan para Agam gampong, kan?
“Ikut-ikutan macam mana?
“Banyak para Agam yang ikut angkatan GAM”
“Taklah Dik, lon sabee teuingat keu (Abangmu akan selalu ingat) pesan Bapak, menjadi muslim yang baik, menghindari pertikaian dan berguna buat sesame”
“Abangmu betul, do’akan saja Abangmu selalu dalam lindungan-Nya” Mak mencoba menengahi perbincangan kami.
Aku beranjak ke kamar, ada sesuatu yang sudah aku siapkan buat Bang Ramli.
“Bang, tengoklah aku ada cincin tembaga. Aku beli di kantin sekolah saat belum liburan lebaran. Ini buat Abang”
“Bagus warnanya, makasih ya” diusapnya rambut panjangku.
Tahun 1998…
Tak lama setelah DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh dicabut, tim gabungan dari Tim Pencari Fakta, wartawan dari dalam dan luar, polisi dan penduduk setempat menemukan kuburan di sebuah bukit.
Aku dan Mak tak ketinggalan ikut menyaksikan penggalian kuburan di bukit dekat gampong. Was-was dan cemas menyelimuti hati kami. Dua bulan Bang Ramli belum balik dari Banda Aceh buat daftar kuliah di Unsyiah. Tapi aku dan Mak tak berharap diantara mayat yang terkubur salah satunya adalah Bang Ramli.
Di dalamnya terkubur beberapa mayat. Diantaranya ada satu mayat yang sebagian tulang kaki dan tangannya remuk, tulang tengkoraknya tertembus peluru. Posisi tangan terikat ke belakang dengan tali baja yang sudah karatan. Tapi aku masih hafal dengan cincin tembaga yang melilit di tulang jari tengah itu.
----------------------------------------
Catatan: OTK (Orang Tak Dikenal)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H