Aku pernah
menunggu dia di suatu kursi panjang yang basah
karena hujan kemarin sore yang menjadi alasan merindu tawanya yang renyah.
Ketika aku bertanya-tanya pada angin yang berlawan arah
turun mengejekku yang tetap duduk pasrah,
bahwa dia tidak mungkin datang meski hari cerah.
Aku mengusirnya keras,
"Pergi, kau angin tidak waras!"
Tidak perlu diperjelas. Biar doa pelawan kemustahilan saja yang tetap mendaras dengan deras.
Lalu, kursi sudah jadi kering. Langit gelap pelan mencumbu kening. Angin lancang itu menggugurkan sembilan daun kuning.
"Sial kau benar! Aku masih menunggunya di sini dengan hening. Meski suara motornya tak sampai-sampai ke kuping."
Angin itu angkuh berlalu. Aku sendiri, mulai gila merindu. Sementara itu, dia di sana sedang dibuatkan kopi susu. Hangat, tidak ciut kedinginan sepertiku.
"Persetan halu!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H