Setiap orang pasti punya zona nyaman nya tersendiri, ada yang berupa pekerjaan, lingkungan pertemanan, hobi bahkan di sebuah hubungan. Saya sendiri punya cerita mengenai zona nyaman, khususnya dunia pekerjaan.
Jam kerja yang fleksibel, rekan kerja yang sudah seperti keluarga sendiri, bos yang asik dan baik hati, kerja di daerah perkantoran bonafit, gaji yang pada saat itu jauh di atas rata-rata UMR jakarta. Untuk wanita yang sudah menikah seperti saya, rasanya enggan beranjak dari zona nyaman ini.
Hingga suatu saat, ada beberapa kejadian yang membuat saya tersadar. Mempunyai seorang balita berusia 2 tahun yang hampir setiap harinya diasuh dan ditemani oleh ART (asisten rumah tangga) sudah bisa protes setiap saya mau berangkat kerja.
Yang paling sedih ketika anak sendiri lebih dekat dengan orang lain dibanding dengan ibunya, bahkan saya tidak menyaksikan sendiri tahap perkembangan (milestone) anak saya. Bingung, sedih, kaget semua campur aduk. Apakah saya harus keluar dari zona nyaman ini?
Setelah berpikir panjang lebar, berdiskusi sama suami mengenai kekhawatiran saya, berdiskusi dengan teman yang sudah lebih dulu memutuskan untuk menjadi Ibu rumah tangga. Akhirnya saya mantapkan diri untuk keluar dari zona nyaman saya yang sudah berjalan selama 5 tahun.
Senang dan bahagia sekarang saya bisa sepenuhnya mengasuh anak saya sendiri tanpa harus menunggu waktu pulang kerja. Dan zona nyaman saya pun beralih menjadi “Stay at home Mom”, dengan 2 anak yang lucu, suami yang selalu support, rumah nyaman dan penghasilan suami yang Alhamdulillah lebih dari cukup.
Selang beberapa tahun berlalu, kekhawatiran saya muncul lagi. Ternyata menjadi “Stay at home Mom” ga selamanya enak, ga selalu indah seperti yang terlihat di iklan susu anak atau iklan biskuit khong guan yang setiap harinya duduk manis minum teh sambil ngemil biskuit.
Muncul tanda tanya besar setiap lihat teman teman yang sukses dalam karir dan pendidikannya. “Sampai kapan mau begini terus, yang lain sudah berkembang menjadi lebih hebat, kamu jauh tertinggal. Ga sayang apa sama potensi yang kamu miliki”. Hehe..maklumlah ya, rumput tetangga memang selalu terlihat lebih hijau.
Dilemma lagi, mulai bingung lagi. Apa saya harus kembali ke dunia kerja tapi rasanya ga tega kalo harus meninggalkan 2 jagoan ini? Well, post power syndrome benar adanya. Bukan hanya dirasakan oleh orangtua yang sudah pensiun.
Seorang ibu yang dulunya pekerja kemudian berganti haluan menjadi ibu rumah tangga juga bisa merasakan ini. Depresi, sensitif, mudah emosi dan merasa tidak berguna dirasakan oleh saya saat itu.
Bukan, ini semata bukan karena materi. Sisi idealisme saya memuncak, saya ingin aktualisasi diri bukan hanya sekedar menjadi ibu rumah tangga tok. Saya ingin berkarya, saya ingin menghasilkan sesuatu yang berguna untuk orang lain atau setidaknya untuk diri saya sendiri.