Dalam dunia literasi yang begitu kaya akan ide dan karya, masih terdapat bayang-bayang yang mengganggu, yang merusak keindahan harmoni antara penulis, pembaca, dan karya itu sendiri. Bayang-bayang tersebut adalah oknum tak bertanggung jawab yang dengan gegabahnya mengambil apa yang bukan milik mereka, yang mencuri intelektualitas dan kreativitas orang lain demi keuntungan pribadi. Mereka terjerumus dalam jaring laba-laba nafsu duniawi, terperangkap dalam pusaran ambisi yang tidak terbatas.
Tidaklah mudah untuk memahami apa yang ada dalam benak mereka sehingga mereka sampai begitu rendah. Apakah demi uang semata? Ataukah demi keinginan akan ketenaran yang kilap tetapi palsu? Atau mungkin keduanya? Pertanyaan-pertanyaan itu terpampang tanpa jawaban pasti, meninggalkan kita dalam kebingungan yang mendalam.
Yang lebih memprihatinkan adalah bukan hanya sekadar kasus-kasus sporadis yang sesekali muncul, tetapi seolah-olah menjadi tren yang merajalela. Meskipun terdapat Undang-Undang Hak Cipta yang jelas, dan upaya-upaya untuk melawan buku bajakan telah dilakukan, pelaku-pelaku tersebut masih saja terus berkeliaran dengan rasa takut yang minim terhadap konsekuensi hukum.
Apakah hukum bisa dibeli? Atau apakah ini adalah hasil dari pendidikan yang kurang memadai (tingkat SDM yang rendah)? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak akan pernah mendapat jawaban yang memuaskan. Namun, yang pasti, adalah bahwa perlu ada tindakan yang tegas, efektif, dan menyeluruh untuk mengatasi masalah ini.
Di Indonesia, pelaku plagiarisme atau pelanggaran hak cipta diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini memberikan perlindungan hukum kepada pencipta karya agar hak-hak mereka terlindungi dari penggunaan tanpa izin atau pengakuan yang layak. Pelanggaran hak cipta termasuk plagiasi diatur dalam pasal-pasal tertentu dalam undang-undang tersebut. Konsekuensi hukum bagi pelaku plagiarisme bisa berupa sanksi administratif dan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tersebut.
Selain itu, terdapat juga ketentuan mengenai penyelesaian sengketa terkait hak cipta, yang dapat melibatkan proses mediasi, arbitrase, atau penyelesaian di pengadilan. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan perselisihan antara pemegang hak cipta dengan pihak yang diduga melakukan pelanggaran, termasuk kasus plagiasi.
Penting untuk dicatat bahwa undang-undang ini memberikan kerangka kerja yang jelas dalam menangani kasus-kasus pelanggaran hak cipta, termasuk plagiasi. Namun, implementasi dan penegakan hukum yang efektif tetap menjadi tantangan, terutama dalam menghadapi kasus-kasus yang melibatkan pelaku dengan sumber daya yang besar atau melintasi batas yurisdiksi negara.Â
Sedangkan untuk pelaku plagiarisme, merujuk pada "Pasal 113 ayat 4 yang berbunyi bahwa UU Hak Cipta mengatur setiap orang yang melakukan pembajakan yang akan dikenai hukuman pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau pidana denda sebesar Rp. 4 Milyar."Â Jadi, jika kita membeli buku bajakan artinya kita mendukung tindakan kriminal.
Kita berharap bahwa para pemimpin kita, mulai dari presiden hingga anggota parlemen, dapat memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. Kita juga mengharapkan dukungan penuh dari komunitas penulis dan pembaca, agar bersama-sama kita bisa memberikan efek jera yang sebenarnya, menghentikan gelombang plagiasi dan buku bajakan yang merusak dunia literasi.
Dalam kasus tersebut, selama beberapa hari terakhir, saya sering kali disesaki oleh keluhan dari teman-teman penulis dan pencinta literasi, baik melalui grup diskusi maupun postingan pribadi di media sosial mereka, mengenai kasus plagiasi. Ini menjadi bukti nyata bahwa masalah ini bukanlah sekadar isu sepele, tetapi memang sebuah ancaman serius bagi keberlangsungan dunia literasi. Sudah waktunya untuk bertindak secara sungguh-sungguh dan berani melawan budaya plagiasi serta buku bajakan. Oleh karena itu, kerja sama antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat sangatlah penting dalam upaya untuk melindungi hak cipta dan mencegah plagiarisme.