Mohon tunggu...
irma dewi
irma dewi Mohon Tunggu... Editor - ASN

Praktisi komunikasi dan kehumasan pemerintah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Makna Belajar di Perpustakaan: Gagasan Filosofis

28 Januari 2019   07:05 Diperbarui: 6 Februari 2019   10:35 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak berlebihan agaknya jika perpustakaan dimaknai sebagai salah satu laboratorium kecil bagi pluralisme. Setiap buku berhak mendapatkan tempat di perpustakaan. Tidak dibedakan siapa pengarangnya, diterbitkan oleh siapa, asalnya dari mana. Karena sesungguhnya setiap gagasan tidak boleh dikriminalkan, sedangkan berpendapat adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar (UUD 1945).

Perpustakaan memberikan jaminan bagi setiap orang dan setiap siswa untuk mendapatkan bahan ajar yang sama tanpa membedakan apapun. Inilah yang dapat dijadikan teladan bagi ruang publik yang lebih besar (masyarakat) untuk memberikan ruang bagi setiap ide dan gagasan. Tidak terkecuali buku berhaluan kiri, kanan, atau yang merah, putih, kuning, hitam, dengan segala semangat yang terkandung di dalamnya. Perpustakaan itu seperti lautan, tidak pernah menolak air sungai manapun yang masuk ke pangkuannya.

Sekeruh apapun air sungai mengalir ke muara, lautan akan tetap jernih. Mengapa? karena lautan bersifat jernih "bebas nilai" dan "bebas kepentingan" sehingga setiap kekeruhan akan dibebaskan di dalamnya. Setiap bidang keilmuan dan sudut pandang gagasan dikelompokkan dan diklasifikasikan sesuai dengan semangat dan visi setiap penulisnya tanpa menghakimi mereka. 

Pendidikan pluralisme yang dimaksud di sini adalah bahwa proses pembelajaran yang bersumber dari berbagai inspirasi (buku) yang majemuk dapat membawa pemahaman yang lebih baik atas setiap gagasan lain. Setiap ide dan gagasan yang beragam, mendapatkan tempat yang setara dengan pendapat dalam pikiran masing-masing siswa-siswa itu.

 Dengan demikian terjadilah proses dialog internal terjadi selangkah demi selangkah dalam diri setiap siswa. Sehingga setiap siswa memahami bahwa dia tidak sendirian, bahwa bukan hanya dirinya yang punya pendapat, bahwa setiap orang memiliki keyakinan akan kebenaran masing-masing. Bahwa kebenaran itu adalah proses konstruktif dari berbagai gagasan yang tidak sepenuhnya benar, dan kebenaran itu dapat dikompromikan. Bahkan, kebenaran semu adalah milik Pemenang Sejarah/Penguasa/ Mayoritas yang TIRAN.

Setiap orang, setiap siswa boleh datang dan belajar di perpustakaan. Apakah dibedakan dari suku mana? apa agamanya? apa warna kulitnya? tidak. Perpustakaan itu milik semua orang. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak, yang dijamin oleh UUD. Sedangkan salah satu pintu akses untuk belajar, berdiskusi, dan menuangkan gagasan adalah perpustakaan. Perpustakaan seharusnya memberikan jaminan bahwa setiap buku mendapatkan perlakuan yang sama.

Sebagaimana setiap orang diperlakukan dengan cara sama dalam memperjuangkan haknya di bidang pendidikan. Baik yang bermoral (anak baik-baik) maupun yang bandel (anak nakal) boleh datang ke perpustakaan, dan semua orang diterima dengan cara yang sama. Demikian kiranya pemahaman saya, filosofi pendidikan di perpustakaan ini dapat dijadikan salah satu bentuk pendidikan karakter yang diterjemahkan dalam realitas yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun