Beredarnya buku-buku pelajaran yang memuat materi kisah orang dewasa dan pornografi di beberapa sekolah dasar beberapa waktu lalu menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Salah satunya Elly Risman, Psi, psikolog dan ahli parenting dari Yayasan Kita dan Buah Hati (YKBH) yang bergerak dibidang parenting untuk orangtua dan guru serta pendidikan seksualitas untuk anak dan remaja. Elly menyoroti selama ini ada pemahaman keliru dalam masyarakat tentang pendidikan seksualitas . Banyak orang menyebut istilah “pendidikan seks”. Padahal kata seks lebih identik dengan aktifitas hubungan intim dan alat kelamin. Sedangkan seksualitas mengandung makna yang jauh lebih dalam dan kompleks.
Semestinya anak-anak sejak dini diajarkan mengenai pendidikan seksualitas, bukan pendidikan seks. “Seksualitas dan seks adalah dua kata yang memiliki makna sangat berbeda. Pendidikan Seksualitas merupakan pendidikan yang mencakup tentang bagaimana seorang anak diajarkan cara berpikir, cara bersikap, merasakan kasih sayang orangtua, merespon kasih sayang, mengekspresikan diri, yang akan membentuk harga dirinya kelak,” tutur Elly.
Orangtua sebagaimana yang diamanatkan oleh agama dan tercakup dalam UU Kesejahteraan Anak No.4 Tahun 1979, lanjut Elly, adalah pihak utama dalam pemberian pendidikan seksualitas tersebut. Melalui ajaran agama yang dianut, pemenuhan kebutuhan kasih sayang dalam keluarga, komunikasi yang baik berperan kunci dalam hal ini. Selama ini pendidikan hanya dititikberatkan pada prestasi akademik saja dimana anak-anak dipacu untuk meraih nilai tinggi pada hampir setiap mata pelajaran di sekolah. Sebaliknya, anak-anak tidak diajarkan untuk mengenali diri mereka sendiri seperti emosi, pikiran, sikap maupun bagian tubuh mereka.
Salah satu alasan mengapa pendidikan seksualitas harus diberikan sejak dini, menurut Elly Risman adalah karena anak-anak sekarang tumbuh lebih cepat dari generasi orangtuanya. Data temuan YKBH menunjukkan 48% anak laki-laki usia 10-11 telah mengalami mimpi basah dan 52% anak perempuan usia 9 tahun telah mengalami menstruasi. Makanan bergizi baik, rangsangan kasih sayang keluarga yang cukup menjadi salah satu penyebab hormon testosteron pada anak meningkat lebih cepat. “Mereka baligh lebih cepat, sementara pertumbuhan sel-sel otak mereka belum bersambungan dengan sempurna sehingga mereka tidak mengerti tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam tubuh mereka dan konsekuensi dari perubahan yang terjadi. Di sinilah peranan pendidikan seksualitas itu, yaitu untuk persiapan pra baligh hingga pra-nikah nantinya”.
Elly memaparkan temuan lapangan YKBH bulan Januari – Maret 2012 terhadap anak-anak kelas 4 – 6 SD, 22% anak pernah mengakses media porno pada internet, 16% pada film (bioskop), 15% VCD/DVD, 13% pada games, sisanya pada komik, iklan, sinetron dll. Yang mencengangkan, banyak di antara anak-anak itu mengakses pornografi di rumah sendiri atau rumahsaudaranya (33%). .
Anak-anak yang telah memasuki masa baligh dan mengenal pornografi tetapi tidak mendapatkan bekal pendidikan seksualitas akan menghadapi bahaya amat besar. “Memasuki masa remajanya mereka akan sexually active karena mutasi hormon testosteron yang aktif 20 kali lebih dari biasa. Hasrat seksual tinggi, bekal tidak ada maka anak tidak punya kendali untuk melampiaskan hasrat seksualnya. Mereka tidak tahu bagaimana mengontrol diri dan nafsunya. Meniru apa yang dilihat dan tidak takut sedikitpun terhadap konsekuensinya secara agama,kesehatan dan sosial. Bahkan penyimpangan perilaku seks sangat mungkin terjadi akibat anak meniru apa yang mereka lihat", papar Elly Risman.
Seperti apa pendidikan seksualitas sejak dini yang tepat? “Kenali anak dengan bagian tubuh mereka sejak mereka di usia pra-sekolah sesuai jenis kelaminnya. Ajarkan mereka tentang sentuhan kasih sayang seperti belaian atau usapan pada kepala tanda sayang, siapa saja yang boleh membelai mereka, yaitu orangtua, kakek-nenek dan keluarga terdekat saja. Memasuki usia sekolah dasar anak mulai diajarkan seputar menstruasi, mimpi basah dan perubahan-perubahan pada tubuh mereka yang diakibatkan oleh perubahan hormon. Pendidikan seksualitas diberikan bertahap sesuai umur mereka.“
Selain orangtua, sekolah dan masyarakat juga memegang peranan yang tak kalah penting dalam pendidikan seksualitas ini. Elly Risman berpendapat pendidikan seksualitas bisa dimasukkan dalam mata pelajaran yang sudah ada dalam kurikulum, antara lain yaitu pendidikan agama, biologi maupun olahraga. “Dalam pelajaran agama anak bisa diajarkan tentang bersuci (taharah) dan perilaku menjaga kebersihan diri. Pada biologi, mereka diajarkan mengenali anatomi bagian tubuh mereka dan fungsinya. Jadi pendidikan seksualitas ini sebenarnya bukan materi baru yang harus diajarkan secara terpisah”.
Cara penyampaian informasi dalam materi pelajaranpun menurut Elly perlu diperhatikan. Materi-materi bacaan yang tidak sesuai dan belum sepantasnya diterima anak-anak dikhawatirkan akan berdampak buruk pada perkembangan anak-anak. Seperti yang telah diberitakan, pada bulan April lalu di beberapa sekolah di Jakarta ditemukan buku-buku yang bercerita tentang kehidupan orang dewasa, salah satunya pada cerita Bang Maman Dari Kali Pasir dalam buku Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta. Sempat beredar pula buku pengayaan pelajaran Bahasa Indonesia di Kabupaten Kebumen yang memuat dialog tentang trik berhubungan intim agar terhindar dari kehamilan dan penyakit kelamin. Meski telah ditarik oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kebumen pada 1 Juni 2012 lalu namun ketiga buka pengayaan tersebut sempat beredar di 136 SD di Kebumen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H