Mohon tunggu...
Irma Muthiah Saleh
Irma Muthiah Saleh Mohon Tunggu... Guru - Guru/Hidaytullah Balikpapan

Berkebun/Agriculture

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Merenda Asa

15 September 2022   21:13 Diperbarui: 15 September 2022   21:13 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gerimis berubah curahan hujan yang kian lebat. Sesosok tubuh berbalut kain lusuh berdiri tegak di emperan sebuah bangunan tua. Hendak diayunkannya kaki kurus yang menopang tubuhnya yang kian ringkih  Namun payung usang yang digenggamnya dengan kuat  rasanya takkan mampu melindungi tubuhnya dari air hujan yang dimainkan oleh angin yang bertiup kencang.

Baru beberapa jam yang lalu dia mengumpulkan sisa tenaga yang ada. Menapaki pematang menuju jalan setapak yang menghubungkan dusunnya dengan dusun tetangga. Yah, sehari yang lalu seorang tetangganya memberi kabar jika di dusun tetangga ada pembagian sembako dari seorang keluarga kaya yang anaknya baru pulang belajar dari kota besar.

Konon keluarga kaya tersebut pernah bernazar akan  membagi-bagikan sembako dan uang tunai ke seluruh warga kurang mampu di dusunnya dan dusun tetangga,  jika anaknya berhasil mencapai gelar dokter.  Meski jarak cukup jauh karena harus melintasi sebuah hutan kecil dan sawah yang terbentang cukup luas, ia bertekad untuk mendatangi rumah orang kaya tersebut.

Mbok Mina salah seorang janda di dusunnya sudah sejak sehari sebelumnya berangkat dan bermalam di rumah keluarganya.  Sementara dia sendiri memilih berangkat hari itu karena berat meninggalkan suaminya yang sedang terbaring sakit.

Gelisah sudah mulai menjalari pikirannya. Ingin diterobosnya hujan lebat itu tetapi jarak yang akan ditempuh masih cukup jauh. Bahkan tubuh kurusnya seakan tak sanggup menahan tiupan angin yang semakin kencang. Dicobanya bergeser mendekat ke dinding bangunan agar bisa terhindar dari angin yang sudah mulai menerbangkan berbagai benda yang ada disekitarnya.

Brakk ! Bunyi sebuah dahan patah diiringi atap bangunan yang mulai terlepas satu persatu. Rasa takut mulai menjalari pikirannya. Ada bimbang haruskah dia berbalik kembali ke gubuknya atau tetap menunggu cuaca menjadi bersahabat. Dimasukkannya payung usang yang sedari tadi digenggam ke dalam tas anyaman rotan yang dibawanya. Dikuatkannya hatinya untuk bertahan. Perlahan dijejakkan kakinya menapaki jalan setapak itu menerobos hujan yang masih tercurah dari langit.

Tidak peduli tubuh kurusnya yang sudah basah kuyup. Dalam pikirannya dia harus pulang membawa sembako  dan membuat masakan istimewa untuk suaminya yang sedang terbaring sakit. Mimpi itu memompa semangatnya sehingga meski harus merangkak menahan tubuh kecilnya dari tiupan angin dia tidak menyerah.

Lamat-lamat terlihat dari kejauhan bangunan di  dusun sebelah. Harapannya semakin membuncah. Terbayang raut wajah sumringah sang suami ketika nanti mencium bau masakannya. Membayangkan hal itu ia semakin bersemangat meski  dingin terus menusuk nusuk tubuh tuanya.

Bersamaan dia menapakkan kaki di perbatasan dusun dimana rumah-rumah warga dusun tetangga sudah di depan mata , hujan pun berangsur reda. "Alhamdulillah", kata syukur terucap lirih dari bibirnya yang pucat menghitam karena dingin. Coba diperasnya kain lusuh yang melekat di badan sambil dikibas - kibaskan  agar airnya terjatuh.

Perlahan matahari yang sudah semakin condong ke Barat mulai muncul.  Menyapa bumi yang dari pagi merundung dalam dekapan hujan. Sambil berjalan memasuki dusun yang dituju , dzikir yang sedari perjalanan tiada henti menghiasi bibirnya, terus di lafadzkan. Sambil celingukan dicarinya orang untuk menanyakan alamat. Namun warga dusun rupanya masih enggan beranjak dari atas rumah mereka.  Dicarinya rumah yang paling bagus karena dalam pikirnya pastilah rumah yang dituju itu yang paling bagus di dusun tersebut.

Di tengah kebingungan tiba-tiba  dia sadar jika belum menunaikan shalat dhuhur sementara waktu ashar sudah menjelang. Seorang bapak tua dengan tampilan  sarung dan kopiah tampak berjalan menuju sebuah tempat. Dia coba mengikuti dan benar saja bapak tua itu berjalan menuju sebuah surau di dusun tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun