Oleh: Irhyl R Makkatutu
Di selasar rumah panggung itu. Ia duduk menatap butiran hujan. Ia menunggu hujan deras mereda, disusul gerimis. Gerimis selalu membuatnya lebih muda tujuh hingga lima belas tahun dari usianya. Sulit dipercaya memang. Tapi kenyataannya begitu. Di usianya yang keenam puluh tiga tahun ia masih terlihat muda. Ia banyak merenung. Ia percaya meninggal di usia 63 tahun adalah sunnah. Seperti pula menikah di usia 25 tahun adalah sunnah seperti yang dianjurkan junjungannya, sang penutup para nabi, Muhammad SAW.
Ia menyeruput kopi hitam tanpa gula. Bunyi terdengar nyaring dari bibirnya. Ia memperhatikan hujan yang singgah di daun cengkeh depan rumahnya. Nyaris tak berkedip. Ia tersedak, lalu batu-batuk kecil. Dadanya terasa sesak.
Hujan kian menderas. Ia benci hujan deras apalagi jelang malam. Hujan akan meniadakan kunang-kunang.
“Tangkap kunang-kunang itu, lalu masukkan ke sini.” Sebuah suara mengagetkannya. Ia menoleh. Pandangannya menyapu apa saja yang bisa dilihatnya. Tak ada sesiapa. Suara itu entah datang dari mana. Rasanya tak asing. Ia berpikir sejenak. Diminumnya lagi kopinya.
“Itu suara Sanami,” bisiknya. “Aneh, apakah aku sedang merindukannya?” Lanjutnya.
Kepalanya terasa membesar. Ia merinding, sarung ditarik hingga nyaris menutupi seluruh tubuhnya. Bayangan Sanami membanjir di pelupuknya. Sanami adalah gadis kecil lincah. Matanya bulat, rambutnya ikal, hidungnya tak bisa dibilang pesek meski terlalu berlebihan jika dikatakan mancung. Sanami adalah teman kanaknya. Dulu, tiap malam ia dan Sanami akan menangkap kunang-kunang. Lalu memasukkannya ke botol.
“Jika kalian besar cocok jadi pasangan suami istri, hehhehehe,” ejekan seperti sering terlontar dari ibunya. Tapi diabai. Dan Sanami jika diejek demikian akan menangis.
Sanami, gadis pertama yang masuk menggeledah seisi hatinya. Sayang ketika beranjak remaja Sanami menghilang. Tak ada yang tahu kemana. Pada saat itu, hujan orang mati turun ke kampungnya jelang senja, lalu disusul kabut tebal. Sanami yang sedang bermain karet bersamanya tiba-tiba menghilang. Seisi kampung panik dan ketakutan. Anak-anak dilarang keluar rumah. Menurut tetua kampung ada paalle-alle ulu (tukang ambil kepala orang) untuk tumbal sebuah proyek. Tapi puang Tammu, seorang sanro terkenal di kampungnya berpendapat lain, bahwa Sanami diculik salihu-kabut- dan suatu saat akan dikembalikan. Tapi setelah kembali Sanami akan jadi orang yang tidak waras. Salihu akan memberinya makanan kayu bussa-lapuk. Tapi hingga kini ucapan puang Tammu tidak terbukti.
Sejak kejadian itu, caranya mengenang Sanami adalah menangkap kunang-kunang tiap malam, lalu memasukkannya ke sebuah botol. Botol tersebut akan diletakkan di sisi tempat tidurnya. Gara-gara kebiasaan itu pula, istri pertamanya minta cerai. Lalu ia menikah lagi, istri keduanya pun tak tahan dengan kebiasaannya. Istri keduanya pergi tanpa pamit membawa serta buah hatinya. Sejak itulah ia memilih hidup sendiri hingga diusianya yang menua sekarang.
Ia percaya, Sanami adalah kisahnya yang tidak selesai. Kisah yang harus dijalaninya kelak. Kisah yang harus diselesaikan. Kisah yang tidak selesai itu telah menjadi momok dalam rumah tangganya. Ia benci kenangan kanaknya bersama Sanami. Kenangan yang membulat di hatinya dan tidak terpecahkan. Dan senja jelang malam saat ini, suara kanak Sanami bertandang lagi. Ia ketakutan dan gemetaran jika harus bertemu Sanami. Rindu yang bertumpuk jadi penyebabnya.
Malam beringsut cepat, hujan masih menderas. Dihabiskannya kopinya lalu beranjak masuk ke rumah. Ia mencari botol, ia ingin berburu kunang-kunang dalam hujan. Tubuhnya terasa gigil. Suara Sanami tadi masih melingkar di pendengarannya.
Kunang-kunang akan sulit ditemukan jika hujan. Malam itu, hanya tiga atau empat ekor kunang-kunang ia tangkap. Lalu kembali ke rumahnya. Dingin menyergap.
“Sialan.” Ia mengumpat ketika membuka laci meja di ruang tamu karena tak menemukan foto Sanami. Padahal itu satu-satunya tanda mata dari Sanami. Ketika sedang duduk berdua di selasar rumah menikmati pisang goreng. Ia ingat betul peristiwa itu. Ia di foto oleh paman Sanami yang tinggal di kota. Berbulan-bulan ia menunggu foto itu selesai dicetak hingga suatu hari paman Sanami datang membawa foto tersebut. Untuk pertama kalinya keduanya tak menangkap kunang-kunang malam itu. Keduanya larut menatapi foto ukuran 3 R di bawah sorotan pelita yang terbuat dari kaleng susu.
“Tangkap kunang-kunang itu lalu masukkan ke sini,” suara itu kembali bertandang. Ia merinding dan lari masuk ke kamarnya mengambil badik warisan orang tuanya.
“Jika berani, tunjukkan dirimu!” Suaranya lantang menantang. Ia mengelilingi rumahnya yang tidak terlalu luas. Suara derit lantai papan menambah suasana kian cekam. Hujan masih menderas, suara kali di depan rumahnya yang meruah menambah nyalinya kian ciut. Tapi ia percaya badik yang ada di tangannya memiliki kekuatan magis. Ia membaca ayat kursi berkali kali untuk menenangkan hatinya untuk mengusir ketakutannya sendiri.
Ia membuka jendela rumahnya dengan gemetaran. Hembusan angin dingin menerpa tubuh kurusnya. Sepi terasa beringas, hujan menderas gila. Ia memperhatikan sekeliling rumahnya lewat jendela sambil membaca ayat kursi. Setelah bacaannya selesai, hujan tiba-tiba mereda. Lalu diganti pekat, sangat pekat. Ia mengambil senter namun cahaya senter tidak mampu menembus pekat.
“Kabut,” bisiknya. Ia teringat ketika kabut tebal seperti inilah yang menculik Sanami ketika ia masih kanak. Ia menatapi pekat, membayangkan Sanami terbang dibawa kabut. Rindunya kepada Sanami terasa memuncak.
“Di mana kunang-kunang itu, Daeng,” suara itu mengagetkannya. Ia menoleh kearah tangga. Menajamkan pendengarannya. Ia merinding, dalam pekat ia mendengar suara langkah kaki seseorang menaiki anak tangga rumahnya. Ia mengumpulkan segala keberaniannya. Ia menghunus badiknya, ia membaca ayat kursi berulang-ulang lalu membuka pintu. Ketika pintu terkuak, sesosok tubuh perempuan bergaun kabut dikelilingi kunang-kunang berdiri tersenyum di hadapannya.
“Aku Sanami, Daeng, ikutlah bersamaku, kita menjadi kabut,” ajak Sanami. Ia tak bergerak hanya mematung saja di depan pintu rumahnya.
*********
Keesokan harinya, warga geger karena di puncak gunung Bawakareang kabut menari-nari serupa orang sedang bercinta. Sementara pintu rumah Puang Kamang yang telah berusia 63 tahun namun akan lebih muda tujuh hingga lima belas tahun jika sedang gerimis telah terbuka. Warga berkumpul di depan rumahnya, namun tak seorang pun berani menaiki tangga untuk memastikan keadaan sebenarnya. Warga lebih suka beropini sendiri.
Rumah kekasih, 20 Feb 2014
Cat: pernah dimuat di Harian Cakrawala
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H