Mohon tunggu...
Irhyl R Makkatutu
Irhyl R Makkatutu Mohon Tunggu... lainnya -

Irhyl R Makkatutu, lahir diBulukumba, anak ketiga dari empat bersaudara, Warga Ikatan Pemerhati Seni dan Sastra (IPASS) Sulsel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rupama Larut Malam

24 November 2014   17:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:59 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416800133129122448

Harusnya aku tak kembali ke rumah ini. Terlalu mengerikan. Mengurai air mata. Tapi aku tak punya pilihan. Tempatku disini menguliti dan dikuliti kenangan. Sebenarnya aku malas menceritakan kisahku. Aku tak percaya sesiapa setelah bukitan masalah menderaku. Kisahku lebih utuh kusimpan sendiri.

Rumah ini tak banyak berubah. Pohon mangga dan pagar besi di depan rumah masih kokoh. Debu masih setia bertandang ke teras rumah. Yang berbeda hanyalah pohon rambutan meranggas dipanggang kemarau. Dedaunan berserakan dan pot bunga yang berantakan. Cat rumah yang putih berubah kekuningan.

Aku ngeri ketika pertama berkunjung sepekan lalu. Ketika pintu kubuka deritnya yang serak mengagetkanku. Sarang laba-laba bergelantungan di dinding. Foto-foto masih setia pada tempatnya dan lukisan pinisi kesukaan ibu juga masih ada. Empat buah kursi memanjang di ruang tamu. TV 14 inci masih di ruangan tamu. Bekas banjir kudapati di ruang dapur dan kotoran tikus berserakan.

Wajar saja rumah ini berantakan. Dindingnya terkelupas karena bertahun-tahun ditinggalkan. Sekarang aku sedang terjaga tengah malam, kebiasaan itu bermula ketika aku berumur tujuh tahun. Di usia sebelia itu pula nasibku jungkir balik tak terkendali. Saat itu, malam telah selarut saat ini di malam Minggu. Ayah terbangun kaget. Batuk menyekapnya. Ia berlari ke kamar mandi serupa kesurupan. Ia menjerit kesakitan lalu terdengar suara guyuran air. Itu isyarat ayah sedang mandi tengah malam. Ibu kebingungan. Berulang kali diketuk pintu kamar mandi tapi tak digubris. Aku, ibu, dan kakakku panik. Setengah jam kemudian ayah keluar. Mata, hidung, dan mulutnya mengeluarkan darah segar. Ibu menjerit histeris. Aku lari kepelukan ibu ketakutan.

Jeritan ibu buatku menangis. Ia meraung-raung sambil memeluk ayah di depan kamar mandi. Ibu berteriak minta tolong, tapi tak ada tetangga yang mendengar. Rumahku dikelilingi tembok.

“Cepat panggil orang,” kata ibu di antara tangisnya. Tatapannya tajam ke arah kakakku. Tanpa protes kakakku segera berlari keluar rumah sambil menangis. Tak lama kemudian Daeng Lami’ datang disusul Daeng Cakka’ seorang sanro terkenal. Lalu warga berdatangan. Rumahku sesak di dini hari itu.

Semua baca-baca yang Daeng Cakka’ tahu telah dirapal menolong ayah, tapi sia-sia. Darah kian tumpah. Jalan terbaik ayah harus dibawa ke Rumah Sakit.

“Cepat panggil Annar,” teriak Daeng Cakka’. Satu atau dua orang warga dengan cepat berlalu menuju rumah Annar, si pemilik petepete. Dengan cepat mobil tersebut terparkir di depan rumah, tapi ketika ayah akan diangkat menuju mobil. Ia menghembuskan napas terakhirnya. Bersamaan dengan berhentinya napas ayah, darah pun ikut berhenti. Aku tak mengerti apa yang terjadi. Aku masih terlalu belia untuk berkenalan dengan luka.

Dua atau tiga bulan pasca kematian ayah. Kakakku menyusul dengan sakit yang sama. Hidung, mata, dan mulutnya mengeluarkan darah. Anehnya malam kematian kakakku juga larut malam di malam Minggu.

Kejadian duka itu membuat ibu murung. Tak ada tanda kehidupan di matanya. Cinta pertamanya sebagai kekasih dirampas maut. Cinta pertamanya sebagai ibu pun dikoyak takdir. Pasca kematian ayah dan kakakku. Kejadian aneh sering terjadi, TV 14 inci di ruang tamu sering menyala sendiri. Kursi yang berjejer memanjang kadang melingkar dan sering terdengar orang main domino.

Di pagi hari sering ditemukan darah di lantai. Pintu yang menurut ibu tak pernah lagi dibuka, sejak aku lahir sering berderit. Suara tangisan dan guyuran air sering terdengar dari kamar mandi. Tak ada orang yang berani berkunjung ke rumah jika malam. Pohon mangga di depan rumah sering disaksikan para tetangga bergoyang sendiri, meski angin tak bertiup.

“Kita harus pindah ke kampung, Nak,” ujar ibu sambil mengemasi barang-barangnya. Ia menatapku sekilas, tatapannya menyedihkan penuh ketakutan. Kehilangan dua orang yang dicintainya buatnya rapuh. Aku tak protes, kukemasi juga mainanku.

Hari bersejarah itu tak pernah kulupa. Kukatakan bersejarah, karena pertama kalinya aku ke kampung orang tuaku. Bukan karena ibu dan ayah tak pernah ingin ke kampung, sangat sering. Tapi status keduanya tak memungkinkan. Keduanya silariang karena uang panai’ dan belum diterima pulang a’baji (damai) oleh keluarga ibu. Kematian ayah dan kakakku tak juga menggugurkan siri’ keluarga ibu. Keluarga kami masih “haram” menginjakkan kakinya di kampung. Tapi ibu tak punya pilihan. Ia rela menantang maut demi menyelamatkanku. Ibu tahu resikonya pulang disaat belum a’baji akan mengancam nyawanya, apalagi pulang tanpa lelaki yang ditemaninya silariang. Resiko kematian menantinya.

Ketika pertama sampai di kampung tengah malam. Aku dan ibu tidak langsung ke rumah nenek. Kami singgah di rumah imam dusun. Dan paginya warga berkerumun ingin menghakimi kami karena dianggap mengotori kampong dan menghina adat. Suasana cekam. Ibu yang tak lagi punya semangat hidup menyerahkan diri. Ia dikoyak warga kampung. Kematian ibu menyempurnakan deritaku di usia yang masih belia itu.

*****

Jika kelak kita bertemu, jangan menatap mataku. Ada bukitan luka disana. Sepi penuh kematian. Aku sulit bergaul. Aku lebih suka sendiri.Sepekan yang lalu, ketika usiaku genap 18 tahun aku memilih meninggalkan kampung. Meninggalkan kakek dan nenek yang mencintaiku. Rasa bersalah kepada ibu membuatnya meruahkan cintanya kepadaku. Tapi aku tak peduli. Aku ingin kembali ke rumah orang tuaku di kota.

Sekarang disinilah aku seorang diri. Terjaga tengah di malam Minggu. Suara-suara aneh kian menjadi-jadi. Di ruang dapur piring-piring gemerincing. Suara guyuran air dan tangis terdengar di kamar mandi. Tapi aku telah terbiasa dengan kematian dan ketakutan jadi kuabai saja. TV tiba-tiba menyala di ruang tamu. Aku melangkah keluar kamar. Ingin tahu siapa yang menyalakannya. Tetapi ketika derit pintu kamarku terdengar. Suara TV tiba-tiba mati.

Aku diserang batuk. Mungkin aku akan mati seperti ayah dan kakakku dengan darah keluar dari hidung, mata, dan mulutnya. Tapi aku benar-benar tak takut pada kematian. Sebagai lelaki, aku harus berani berenang pada tiap kemungkinan.

Rumah kekasih, 16 November 2014

Dimuat di Harian Fajar, 23/11/2014



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun