Dalam beberapa tahun belakangan hubungan persaingan antara dua negara adidaya, Amerika Serikat dan China semakin memanas. Dua negara ini menjadi salah satu negara yang menonjol karena rasa rivalitas yang tinggi dalam banyak bidang seperti geopolitik, ekonomi, militer dan teknologi. Fenomena ini menegaskan teori realisme dalam hubungan internasional yang aktor utamanya ialah negara itu sendiri. Negara mengambil kekuasaan penuh dalam pengambilan keputusan politik dan segala hal yang menyangkut keuntungan negara di sistem internasional yang anarki, di mana tidak ada otoritas tertinggi dalam sistem internasional yang dapat memaksakan negara-negara untuk saling bekerja sama atau berdamai.
Dalam teori realisme negara-negara akan memaksimalkan kekuatan dan keamanan negara masing-masing. Tiap negara tidak pernah merasa tenang jika negara lain memiliki posisi di atas negara mereka dan merasa negara lain menjadi ancaman potensial yang akan merugikan negara mereka, untuk itulah tiap negara melakukan perkembangan gila-gilaan agar tidak tertinggal jauh di belakang negara lain. Tiap negara tidak pernah mempercayai niat perdamaian dari negara lain, itulah alasan tiap negara punya kecenderungan mengembangkan militer untuk keamanan nasional juga pengembang dalam bidang-bidang lainnya yang menguntungkan negara. Rasa persaingan antara Amerika Serikat dan China mencerminkan pola-pola klasik dari teori realisme sejak kebangkitan China dalam ekonomi dan militer di tahun 1980-an yang jelas menentang dominasi AS yang sudah ada sejak usai nya perang dingin.
Laut China Selatan: Arena persaingan geopolitik AS dan China
Laut China Selatan merupakan salah satu medan utama persaingan dua negara adidaya ini. Laut China Selatan adalah wilayah strategis karena sepertiga perdagangan global melalui laut melewati perairan ini menjadi wilayah laut China Selatan sebagai jalur vital bagi ekonomi global.
China sudah sejak lama mengklaim wilayah-wilayah di laut China Selatan sebagai kedaulatannya termasuk apa yang di sebut dengan "Nine Dash Line" . Sebagian besar dari wilayah laut China Selatan di klaim dengan cara membangun pulau-pulau buatan secara agresif juga mendirikan instalasi militer di wilayah-wilayah perairan tersebut. AS dan para sekutunya jelas menganggap apa yang di lakukan China adalah sebuah ancaman terhadap kebebasan navigasi dan tatanan aturan internasional.
Dalam pandangan realisme sendiri, apa yang China lakukan adalah bentuk dari upaya untuk memaksimalkan keamanan dan kekuatan negaranya sendiri dengan menguasai wilayah strategis di laut China Selatan. Penguasaan wilayah perairan ini jelas menguntungkan China dari segi ekonomi dan militer di mana China mengamankan jalur perdagangan negara nya serta memperkuat pengaruh militer China di kawasan Asia-Pasifik.
Di sisi AS dia sudah lama menjaga kestabilan di wilayah tersebut bukan hanya untuk kepentingan para sekutunya namun juga untuk mempertahankan kebebasan navigasi, itulah kenapa AS secara rutin akan mengadakan operasi kebebasan navigasi di kawasan laut China Selatan yang mana hal tersebut jelas dilakukan AS untuk menentang klaim China di Laut China Selatan, AS seakan menunjukkan komitmen nya pada keamanan kawasan tersebut.
Dari sudut pandang realisme dua negara adidaya ini jelas sedang bersaing dalam mempertahankan dominasi tiap negara di bagian Laut China Selatan. Kedua negara adidaya ini memandang satu sama lain sebagai ancaman dan berusaha memaksimalkan kekuatan militer juga diplomasi untuk mengamankan kepentingan negara masing-masimsing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H