[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber Gambar: static.inilah.com"][/caption] Akhir-akhir ini tengah marak pemberitaan tentang kasus narkoba di Indonesia, baik pemberitaan tentang sang pemakai, pengedar, pemasok dan pembuat, hingga aparat yang "membekingi" para bandar. Kasus yang terbaru adalah pemberian grasi kepada salah satu narapidana narkoba yang sedianya akan dihukum mati. Awalnya orang ini dikenal sebagai bandar narkoba, tapi entah mendapat wangsit dari mana tiba-tiba presiden memberinya grasi karena dianggap hanya sebagai kurir. Beberapa bulan yang lalu juga mencuat kasus tabrakan maut yang menewaskan sejumlah pejalan kaki di bilangan Tugu Tani, Jakarta. Usut punya usut, ternyata pengemudi mobil tersebut tengah berada dalam pengaruh narkoba. Hal yang serupa juga dialami oleh pengemudi lainnya. Sang pengemudi yang tengah sakau, menabrak sejumlah orang yang berada di jalur mobil tersebut. Ini baru kasus yang diketahui, lantas bagaimana yang tak terungkap ke ruang publik. Dan, sekali lagi, ini semua diakibatkan oleh NARKOBA. Saat semua orang begitu “kebakaran jegot” melihat fenomena ini, saya justru mengatakan, “Ya inilah akibatnya.” Akibat yang saya maksudkan ini tentu ada sebab hingga narkoba menjadi sangat merakyat di negeri ini. Bagi saya, ada satu penyebab utama; PERMISIF. Ya, negeri ini sangat permisif dengan instrumen-instrumen yang mengarah ke narkoba. Menurut Kang Haji Budi Schwarzkrone, Pengasuh Pusat Rehabilitasi Narkotika Tasikmalaya, 80 % pengguna narkoba awalnya adalah perokok. Masih menurut beliau, selain karena alkohol, rokok adalah salah satu gerbang menuju narkoba. Tentu kita tahu bagaimana penangan masalah rokok di negeri ini. Bahkan, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Pasifik yang belum meratifikasi FCTC (Framework Convention Tobacco Control). Padahal 135 negara lainnya telah meratifikasi konvensi tersebut. Kemudaian muncul tanya, apa 135 negara itu tak waras hingga negara kita menolaknya atau malah kita yang tak mau berkaca hingga 135 negara tak cukup menyadarkan kita dari kebergemingan. Begitu permisifnya negeri ini dalam melindungi kesehatan masyarakat dari serbuan para cukong rokok hingga kaidah yang dipakai adalah "setiap tempat boleh untuk merokok, kecuali yang dilarang". Sementara kita tahu di negara maju kaidah yang dipakai adalah sebaliknya; "semua tempat terlarang untuk merokok, kecuali tempat yang memang diperbolehkan". Ketika bangsa ini tengah bermain-main dengan kaidah ini, negara-negara maju tengah berjuang dengan keras meminimalisasi pintu gerbang menuju narkoba. Apa yang mereka lakukan? Mereka naikkan harga rokok sehingga hanya orang yang berduit saja yang mampu membelinya. Sementara di negeri ini, rokok layaknya permen yang bisa dibeli dengan hanya beberapa ratusan rupiah. Sangat miris, bukan? Melihat begitu lemahnya peran pemerintah dalam mengelola pintu gerbang ini, para bandar mencoba memanfaatkannya untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung utama narkoba dunia. Maka tak perlu kaget apalagi syok ketika dengan mudah narkoba bisa masuk dan menjangkiti para genarasi bangsa. Mungkin saat ini para bandar tengah tertawa terbahak-bahak karena melihat pintu gerbang yang setiap saat terbuka lebar. Kalaupun ditutup, amat gampang membukanya; keluarkan beberapa lembar dolar pintu akan langsung terbuka. Mereka juga tak perlu khawatir andai tertangkap karena grasi siap menyelamatkan mereka sewaktu-waktu dibutuhkan. Jadi, inilah faktanya, jika bangsa ini memang sungguh-sungguh ingin berubah, maka bertindaklah layaknya sang pengubah. Semoga bangsa ini mau dan bisa berbenah. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H