Langit di atas bukit menggantung biru terang. Cerahnya membaurkan awan-awan kumulus yang bergerak seirama tiupan angin. Tidak cepat, pun tidak lambat. Dan hamparan persawahan di tepi danau itu, menyambung pada horison langit. Hijaunya selaras dengan biru danau dan langit. Benarkah demikian warna yang kulihat itu? Namun memang itulah yang tertangkap oleh lensa mataku. Meski aku yakin, barisan pegunungan itupun tidaklah seelok tampaknya dari kejauhan.
Tiga hari sudah aku mencoba mencari muasalku di kampuang ini. Tak kukira, begitu banyak kekerabatan yang saling terhubung oleh satu nama. Seorang perantau yang tak pernah pulang.Seorang perantau yang memiliki nama serupa dengan salah satu tokoh agama yang pernah lahir di tanah ini. Syeh Akhmad Khatib al Minangkabawi. Ya, nama kakekku sama dengan nama ulama besar itu. Pastilah orang tua kakekku teramat berharap pada persamaan nasib dengan sang ulama.
Tak banyak yang dapat kuperbuat di kampuang ini. Aku bergerak kemari sekedar mengikuti tuntutan hati. Meskipun beberapa orang telah menunjukkan kunci itu, aku tak hendak memungutnya. Tak hendak menerima atau sekedar memegang. Cukup sudah bagiku percik-percik nasab tergaris dalam ingatan semata. Aku telah pasrah menjalani hidup sebagaimana manusia kebanyakan lainnya dengan memakai garis keturunan suku yang lain. Apakah ada kepasrahan yang sama bagi kakekku untuk menerima nasibnya menjemput takdir di tanah seberang? Tidakkah ia pernah bermimpi, satu kali saja, kembali ke kampuang ini? Kelak akan kutanyakan kepadanya seandainya bersua di akhirat nanti. Kelak kutanyakan pada Datuk Rajo Katie.
Ah, hamparan hijau di bawah bukit sana, di hulu sana, sepertinya tak serimbun hamparan lainnya. Ada warna coklat yang keruh di beberapa tempat. Dan tumpukan-tumpukan log, batang kayu, menggunung di tepi sungai. Aku cepat menduga, keserakahan manusia telah mencuil lukisan permadani hijau di bawah sana dan membuat kepingan-kepingan mozaik terlepas dari bagiannya. Aku tak suka itu!
Tak ada yang bisa kulakukan lagi di kampuang itu. Aku meninggalkannya bersama serpihan masa lalu yang menggurat sejarah nasabku. Aku meninggalkannya bersama berita di televisi akan banjir bandang yang melandanya. Orang-orang itu, yang mencuil permadani hijau itu, aku ingin menebasnya! Sama seperti mereka menebas pepohonan itu tanpa ampun. Mencabik hijau yang kusuka.
Aku melihat Borneo yang habis terbakar, lantaknya peradaban ulayat. Bintuni di Nuu Waar yang mulai memudar keelokannya, dan bumi Andalas jua tak luput dari bencana yang puluhan tahun lalu tak terkira akan tiba. Lalu terpikir, akan menghirup udara di tanah mana kelak keturunanku? Apakah akan hidup terapung di pulau buatan dalam lautan bumi. Bumi yang tak lagi punya daratan. Entahlah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H