RAKIB dan Kadim memastikan semua perlengkapan yang mereka butuhkan telah masuk ke dalam ransel. Tekad keduanya sudah bulat, mereka akan memasuki gua karts yang ada di bawah perbukitan jati. Mumpung liburan semesteran masih lama, mereka akan memanfaatkan tenggat waktu yang tersisa untuk meneliti gua itu. Sebuah gua yang ditemukan kakek buyut mereka bertahun silam secara tidak sengaja sewaktu berladang.
Dan ketika malam telah mengendap, menangkupkan jubah kelamnya melingkupi pedukuhan yang sunyi di tepi hutan jati, keduanya berjingkat dan melompati jendela kamar di rumah nenek mereka dengan gerakan seringan mungkin.
Selepas magrib, pedukuhan Jatisari berubah laksana dukuh mati. Gelap gulita. Hanya cahaya sepotong bulan yang malu-malu mengambang di angkasa, yang sedikit memberi penerangan. Itupun lebih sering tersaput gumpalan awan yang angkuh berarak mengitari bumi.
Meski listrik telah menjamah pedukuhan itu, namun kebanyakan warga yang jumlahnya tak lebih dari dua puluh kepala keluarga, lebih memilih mematikan lampu-lampu. Sudah menjadi kebiasaan mereka turun temurun untuk hidup dalam kegelapan jika malam tiba. Diam dalam pekat, berteman alam yang riuh mendendangkan orkestra malam. Suara orong-orong selepas magrib seperti menjadi penanda, tak perlu keluar rumah malam-malam kecuali teramat penting. Dan mereka hanya perlu nyala senter jika sesekali keluar rumah. Menggantikan fungsi suluh dari sabut kelapa yang diberi minyak jarak. Di jalan-jalan, tak ada yang mau memasang lampu listrik untuk menerangi dukuh. Alasannya sederhana, sayang jika terlalu banyak membayar tagihan listrik. Warga dukuh, kebanyakan hanyalah petani ladang dan sawah yang penghasilannya pas-pasan. Pas untuk makan dan pas untuk membeli tembakau kapur sirih. Jadi, mereka berusaha sehemat mungkin mengeluarkan uang.
Kesiur angin malam yang lembab basah menerpa tubuh Rakib dan Kadim. Dinginnya membuat merinding. Aroma bunga sedap malam yang banyak ditanam di pagar-pagar rumah, menimbulkan suasana mistis yang aneh.
“Jika nenek tahu, habislah kita dimarahi.” Kadim bergumam perlahan memecah kesunyian. Jaketnya lebih dirapatkan untuk melawan udara dingin.
“Makanya, kita pergi diam-diam begini.” Radit mendengus. Seekor serangga malam menabrak wajahnya. Baunya sangit. Di angkasa kelepak sayap para kelelawar terdengar sayup-sayup ditingkah kuakan burung pungguk yang menegakkan bulu kuduk. Seekor burung hantu termenung di ranting kamboja.
Jalanan setapak tampak terbias samar-samar seperti bayangan ular yang besar dan panjang. Rakib dan Kadim tahu, itu adalah jalan setapak menuju ladang nenek mereka, tempat kakek buyutnya dulu menemukan sebuah lubang, mulut gua. Ketika kecil, mereka sering bermain kesana tanpa sepengetahuan para orang tua. Mengintipi lubang gua itu dengan kecamuk rasa ingin tahu. Kini mereka mengulanginya lagi. Sekaligus berusaha memasukinya.
SEPERTI seekor cicak, Kadim menuruni lubang gua yang berdiameter sekitar empat meter dengan lincah. Di pinggangnya tergantung tambang yang terulur dari atas. Kadim terus turun sembari menancapkan beberapa pasak besi ke dinding lubang untuk menyangkutkan tambang. Makin ke dalam, lubang itu makin melebar. Sampai akhirnya sekitar dua puluh meter ke bawah dari mulut lubang, Kadim menjejakkan kakinya di dasar lubang. Becek dan bau. Banyak kotoran kelelawar.
“Oke, Dit!” Seru Kadim dari bawah. Rakib serta merta menuruni lubang dengan berpegangan pada tali yang sudah diulur Kadim. Lampu di helm khusus Kadim tampak menyilaukan di dasar lubang. Sinarnya membias menerangi seputar tubuh Kadim.
Begitu sampai di dasar lubang, mereka menyinari sekeliling mereka. Ada jalan yang bercabang di beberapa bagian. Namun untuk memasukinya, Kadim dan Rakib harus berjalan merunduk, nyaris jongkok. Punggung mereka basah oleh tetesan air dari atap gua. Mereka menyelinap di antara stalaktit2 dan stalakmit3 yang membentuk pilar-pilar mengagumkan di dalam gua. Samar-samar terdengar bunyi gemericik air. Rakib menoleh ke arah Kadim dan mengangguk. Keduanya akan menuju arah suara gemericik itu.
Sebingkai aliran air mengucur cukup deras dari stalagtit, membentuk telaga kecil di dalam gua. Aliran itu terlebih dulu bergabung dengan aliran dari karts yang melebar di tebing gua membentuk drapery4. Rakib mencungkil sebongkah bebatuan di dinding gua dan memasukkan ke dalam kantung plastik. Ada beberapa bagian dari bongkahan itu yang berwarna kuning muda.
“Airnya dingin sekali, Dit. Dan jernih!” Kadim menyiduk air, merasakannya di tangan, lalu membasuh wajahnya. Rakib tidak begitu memperhatikan perkataan Kadim lantaran dia tertegun dengan pemandangan di depannya. Lapisan dinding dan atap gua dipenuhi kulit-kulit kerang yang menempel dan memfosil. Diambilnya sedikit lapisan itu dan memasukkannya ke kantung plastik lainnya.
Rakib lalu mengambil kamera digitalnya. Dia memotret struktur bebatuan. Terutama yang memiliki ukuran paling besar, sebuah batu aliran yang bentuknya menggelembung. Saat itulah, kilatan blitz kamera menangkap sesosok binatang besar melingkar di seberang telaga. Tepat di bawah bongkahan batu yang paling besar. Di dalam rongga yang terdapat pada batu besar itu. Matanya menyala merah dan tampak terusik akibat sinar terang yang ditimbulkan dua pemuda itu. Rakib buru-buru menarik tangan Kadim untuk segera meninggalkan tempat itu. Wajahnya pucat pasi.
“Ada apa Dit? Kok buru-buru?” tanya Kadim begitu mereka sampai di bawah lubang gua tempat mereka turun sebelumnya.
“Sudah, kita naik saja dulu.” Rakib langsung memanjat dinding gua. Nafasnya memburu. Di belakangnya, Kadim mau tak mau akhirnya mengikuti sepupunya itu sembari melepaskan pasak-pasak yang tertancap. Padahal Kadim sangat menikmati petualangan diam-diam mereka. Sebagai seorang anggota pecinta alam di kampus, Kadim sangat senang bisa melakukan susur gua. Apalagi jika gua yang ditemukannya memiliki keunikan-keunikan, seperti gua di ladang nenek mereka. Keunikan yang mendebarkan. Gua selalu saja menyimpan misteri yang tak pernah selesai untuk dipecahkan teka-tekinya.
Beberapa saat setelah sampai di atas, Kadim menggulung tali dan memasukkan ke ranselnya. Rakib membantu membawa sebagian pasak. Ia sangat terbantu oleh peralatan Kadim. Sayang sekali, hasil temuannya di gua tidak maksimal lantaran mata merah yang menyala di kegelapan itu.
“Di bawah sana sepertinya dihuni seekor ular besar. Paling tidak, ada seekor yang sempat kulihat. Aku yakin, masih banyak binatang melata di dalam sana.” Rakib mengusap peluhnya. Nafasnya mulai teratur. Namun udara yang dingin di malam hari, tetap tidak kuasa menahan laju keringat untuk mengembun di tubuhnya.
“Seberapa besar, Dit? Kalau ular tak usah takut, aku biasa menjumpainya di gua-gua.”
“Tak usah ambil resiko, diameternya lebih dari batang aur paling besar sekalipun yang pernah kulihat.”
“Cukup besar,” gumam Kadim. “Mungkin karena selama ini habitatnya belum terjamah manusia, maka binatang-binatang di dalamnya memiliki ukuran lebih besar daripada yang biasa kita jumpai.”
“Dan untungnya, binatang melata itu tidak melibas kita. Kau melihat binatang lainnya?”
“Pelus, di telaga tadi.” Ujar kadim. “Tapi tidak berbahaya. Dan pasti di siang hari, gua ini dipenuhi puluhan bahkan ratusan kelelawar. Kita menginjak kotorannya yang tebal di lantai gua.”
“Yang penting, aku sudah mengambil sampel untuk bahan penelitianku.” Rakib meraba ranselnya. Setelah yakin, kantung-kantung plastik berisi cungkilan dinding gua tidak tertinggal,Rakib mendesah lega. “Nanti aku bawa ke lab di kampus.”
Dua pemuda itu berjalan perlahan. Mereka sudah sampai di rumah nenek. Dan dengan gerakan yang sangat hati-hati, mereka membuka tingkap jendela dan masuk ke kamar. Tak ada yang tahu.
“SEJENIS fosfat.” Pak Hudoyo yang berada di laboratorium memberi tahu Rakib. Rakib mengangguk. “Apa Kau memperolehnya bersama dengan lapisan yang ditempeli fosil kerang ini?”
“Ya, di gua yang ada di ladang nenek saya.”
“Berapa jauh ladang itu dari laut?” tanya Pak Hudoyo.
“Sekitar sepuluh kilometer.”
Pak Hudoyo mengangguk-angguk. Ia membetulkan letak kacamatanya. Meski baru meneliti sampelnya, tetapi dia sangat yakin bahwa gua di ladang nenek Rakib adalah jenis gua yang usianya sangat tua. Fosil kerang yang menempel di karts, adalah buktinya. Karts awalnya terbentuk di dasar laut dalam kawasan yang luas selama ribuan tahun. Hingga terangkat ke permukaan dan membentuk perbukitanpun memerlukan waktu yang sangat lama. Hal itu menjelaskan bagaimana fosil-fosil binatang laut menempel di gua karts di perbukitan.
Gua yang dimasuki Rakib, kelihatannya mengandung sumber daya alam. Deposit fosfat alam ini salah satunya. Dan gua itu juga memiliki speleothem5 yang indah. Banyak stalagtit yang sudah menyatu dengan stalakmit membentuk pilar. Dan satu sentimeter endapan stalaktit itu terbentuk paling cepat selama satu tahun. Jadi, dengan melihat ketinggian pilar itu, Pak Hudoyo dapat langsung menengarai bahwa usia gua sedemikian tuanya. Benar-benar temuan yang menakjubkan.
***
PEMERINTAH telah mengganti rugi ladang nenek Rakib. Berikut hektaran tanah milik warga di sekelilingnya. Awalnya, temuan gua itu menimbulkan gelombang penelitian yang tiada putusnya. Para speleolog dari dalam dan luar negeri dilanda euforia penelitian. Tim-tim ekspedisi berkeliaran di seputar ladang. Mereka mencari-cari jalur lain dari gua itu. Sebuah jalan bawah tanah yang dipenuhi aliran air ditemukan menuju laut. Kadim ikut dalam rombongan ekspedisi itu. Sementara Rakib lebih asyik berkutat dengan sampel-sampel fosfatnya.
Selanjutnya, kandungan fosfat di dalam gua, dieksploitasi pemerintah secara berlebih sehingga membentuk jurang di dalam gua. Gua yang sudah dalam itu, sebagian strukturnya hancur dan rusak akibat bekas galian tambang fosfat.
Kini setelah proses eksplorasi dihentikan akibat kecaman para ilmuwan yang mengkhawatirkan kerusakan speleothemnya, gua diubah menjadi tempat wisata untuk menambah pendapatan daerah. Ribuan orang datang silih berganti sekedar melihat, tanpa pernah benar-benar mempedulikan nilai sejarah gua itu. Nilai peradaban bumi yang pernah singgah dan terjejak di dalamnya.
***
RAKIB dan Kadim memandangi ladang nenek mereka yang telah lama dibebaskan. Keluarga besar mereka tak tersisa lagi di pedukuhan itu. Sebagian besar mengadu nasib ke kota setelah nenek meninggal. Ada rasa sedih berdenyut di kalbu mereka. Di tanah itulah dulu mereka menghabiskan sebagian masa kecil. Menyaksikan tubuh kakek buyut yang legam berpeluh mengolah ladang. Juga mengambili daun jati pembuat warna merah darah untuk bermain perang-perangan.
“Mestinya tidak berakhir begini, Dit.” Kadim menggendong cucunya yang letih mendaki jalan berundak menuju gua yang dibuat pemerintah menjadi tempat wisata.
“Semua karena keingintahuanku yang menghancurkan ladang kita.” Rakib mengusap dagunya. Namanya menjadi sorotan puluhan tahun silam setelah mengumumkan penemuan sebuah gua tua berikut deposit fosfat alam yang tersimpan di dalamnya. Gua dengan struktur batuan tertua di dunia. Waktu itu ia merasa bangga. Tetapi kini, hanya sesal yang menggantikan buncah-buncah di dadanya itu. Ia tak pernah membayangkan jika temuannya hanya akan dipandang sebagai temuan mesin uang oleh pemerintah lantaran kandungan sumber daya alamnya. Tak membayangkan jika gua itu dijadikan obyek komersialisme. Yang ia inginkan adalah, para peneliti dapat mengembangkan ilmu mereka. Memanfaatkan situs yang langka itu untuk ilmu pengetahuan.
“Aku tak penah lagi melihat ular yang besarnya melebihi lenganku ini. Kelelawar juga mulai jarang terlihat. Tinggal satu dua. Kera-kera tak seramai dulu saat kita sering bermain di hutan jati. Bahkan mulai punah. Entah kemana mereka. dibantai, dibunuh, atau dijual?” Kadim mengusap kepala cucunya. “Pohon saga sudah tidak ada lagi di atas ladang kita.”
Rakib terdiam. Kadim ikut terdiam. Kini mereka mendatangi bekas ladang kakek buyut mereka sebagai wisatawan. Sama seperti orang-orang lainnya. Tak tersisa ruang untuk mengenang masa kecil mereka lantaran semua telah berubah. Jasa-jasa mereka telah dilupakan. Berlalu bersama waktu.
Kini mereka hanya mampu menyusuri serpih kenangan yang tersisa lewat diam. Mengumpulkan repihan-repihannya, merangkai kembali mozaik-mozaik masa lalu lewat bisikan angin yang semakin kencang melibas di atas perbukitan. Seorang penjual souvenir mengacung-acungkan dagangannya. Rakib dan Kadim meliriknya sepintas.***
Jakarta, Desember 2009
1.Batu gamping.
2.Dekorasi alami gua yang tergantung di atap gua. Terjadi akibat rekahan kecil pada tubuh batu gamping yang memungkinkan terjadinya tetesan air yang mengandung larutan kalsium karbonat. Di saat itu terjadilah presipitasi sehingga karbondioksida terlepas dan terbentuk endapan bening yang disebut mineral kalsit.
3.Dekorasi alami gua di bagian dasar. Tetesan air dari stalaktit yang berlebih dalam kurun waktu ribuan tahun, terakumulasi membentuk dekorasi sendiri. Jika stalaktit dan stalakmit sampai bertemu, akan terbentuk tiang batu atau pilar (coloumn).
4.Dekorasi alami gua yang bentuknya mirip selendang atau tirai yang terbentuk dari tetesan air yang mengalir melalui dinding gua.
5.Dekorasi gua.
Cerpen ini telah dibukukan dalam Kumpulan Karya Finalis Lomba Cerpen MIPA EXPO UGM 2009 "Goresan Mimpi Masa Depan Anak Bangsa"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H