Mohon tunggu...
Irine Rakhmawati
Irine Rakhmawati Mohon Tunggu... lainnya -

cerpenis, penyuka sejarah dan sains

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kekuatan Imajinasi dalam Menulis Fiksi

10 Februari 2012   23:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:48 1404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_170111" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Menulis bisa dilakukan oleh semua orang. Fiksi maupun nonfiksi. Jika menulis nonfiksi biasanya dibatasi pakem baik yang tertulis maupun pakem kebiasaan, maka menulis fiksi membentangkan seluruh imajinasi dalam ketidakterbatasan. Dan disinilah, seni merangkai kata, pemilihan diksi dan penggunaanmajas menemukan tempatnya.

Kendati tidak dibatasi aturan baku, menulis fiksi tetaplah harus menyandar pada beberapa hal agar tulisan menjadi karya yang enak dibaca. Karya fiksi berupa cerita pendek (cerpen), cerbung atau novel memiliki unsur-unsur serupa. Unsur pembangun karya antara lain penokohan, latar (waktu dan tempat), tema, alur, serta konflik.

Penokohan. Penulis bisa menggunakan sudut pandang orang pertama(biasanya menggunakan tokoh ‘aku’) atau sudut pandang orang ketiga. Penciptaan karakter tokoh-tokoh harus kuat, terutama untuk tokoh utama. Wataknya dapat diketahui dengan jelas dalam tulisan. Apakah tokoh itu antagonis, protagonis, introvert, dingin, terbuka, periang dan sikap-sikap lainnya, terapkan dalam tokoh.

Latar. Biasakan membuat karya dengan latar yang jelas, meski latar antah berantah sekalipun. Hal ini akan memudahkan pembaca untuk memahami karya penulis. Umumnya, berdasarkan pengalaman saya, latar yang dekat dengan pribadi penulis, sangat membantu menciptakan detilyang bagus. Latar bisa diambil dari pengalaman pribadi, pengalaman saudara, tetangga atau hal-hal di sekitar. Latar yang asal-asalan menjadikan karya hanya artifisial belaka. Latar hanya menempel, kurang menyatu dengan jalinan cerita.

Alur. Ciptakan alur yang sesuai. Alur bisa runut, kilas balik, atau perpaduan keduanya. Berdasarkan beberapa kompetisi cipta cerpen yang pernah saya ikuti dan memperoleh juara, umumnya pembaca (juri) di Indonesia lebih menyukai alur runut. Saya mengikutsertakan karya saya pada beberapa lomba, dan pada karya yang memakai alur kilas balik selalu mental. Jadi, faktor alur harus disesuaikan jika ingin mendapat apresiasi dari pembaca, penerbit, atau juri lomba. Namun jikaingin membuat karya dan menerbitkan secara indi, silakan buat alur sesuka anda.

Konflik. Inilah yang kerap dilupakan para penulis. Seringkali, lantaran ego masih menyertai proses berkarya, penulis lebih menonjolkan detil latar dan alur, namun melupakan konflik. Jika ini terjadi, maka karya akan menjadi naskah yang datar dan kurang menggigit. Konflik bisa terbangun mencapai proses klimaks dan diakhiri antiklimaks. Atau jika menggunakan alur kilas balik, putar saja. Anti klimaks menjadi catatan pembuka. Di sebuah media, saya sempat menemukan cerpen yang menggunakan susunan terbalik seperti ini. Sayangnya di media-media besar, cerpen yang dimuat umumnya cerpen yang banyak berfilsafat, sangat berbeda dengan cerpen (short story) yang saya cermati di luar negeri Indonesia. Sepertinya banyak penulis di Indonesia telah bermetamorfosa dari ‘pengisah’ menjadi ‘penceramah’ sehingga pesan moral yang seharusnya lekat didapat dari membaca menjadi bias. Bahkan banyak cerita yang tidak disertai pesan moral yang mengiringi konflik.

Dari semua unsur pembangun karya fiksi (sastra) di atas, yang paling menentukan adalah: imajinasi. Saya membahasnya tersendiri dan tidak digabungkan lantaran dalam bahan-bahan pengajaran, umumnya imajinasi tidak dimasukkan dalam unsur sastra. Padahal inilah yang paling mengasyikkan selama proses menulis. Penulis-penulis favorit saya, mampu memetamorfosikan diri mereka ke dalam beragam tokoh yang berbeda tanpa terasa janggal. Saat ini dia menjadi karyawan, lain waktu menjadi pemulung, lalu menjadi politikus kemudian berperan sebagai nelayan. Penulis berdialog melalui tokoh yang dia ciptakan. Inilah dahsyatnya imajinasi, yang jika terkena ‘sensor’ cukup membela diri dengan “karya ini adalah fiksi semata”. Imajinasi yang dituangkan ke dalam sebuah karya sastra, tidak akan pernah habis dan kering, jadi omong kosong jika ada penulis yang mengatakan kehabisan ide (alias kehabisan imajinasi). Jalan-jalanlah sebentar keluar ruangan, memandang langit, pepohonan, dan detil tempat akan muncul dengan segera. Berdiam diri sejenak, menjedakan otak untuk beristirahat, lalu tiba-tiba ide melintas dan berkelebatan. Ini yang kerap saya alami, ide muncul saat saya sedang mengetik di papan keyboard. Alur yang sudah saya siapkan terkadang terburai tidak karuan lantaran imajinasi baru yang mendadak muncul. Biarkan saja, namun batasilah saja menuangkan pada tema yang diinginkan. Anda akan lihat, betapa tercengangnya setelah karya selesai. Ledakan imajinasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun