[caption id="attachment_312294" align="aligncenter" width="460" caption="source : EPA"][/caption] " Miris, korban meninggal pembangunan Stadion di Qatar melebihi korban meninggal Bencana Alam " Sejak Qatar dinyatakan sebagai negara penyelenggara Piala Dunia 2022, pembangunan stadion dilangsungkan secara spartan dan maraton, kesehatan dan keselamatan kerja diabaikan. Hingga hari ini menurut informasi dari koordinator keselamatan kerja Nepal atau Pravasi Nepali Co-ordination Committee di Doha menyebutkan telah lebih dari 400 pekerja migran asal Nepal yang tewas akibat kelalaian menerapkan standar keselamatan kerja dan minimnya pengobatan atau upaya medis bagi pekerja yang sakit. Dilaporkan, lebih dari 1000 pekerja dirawat di Unit Trauma karena jatuh dari ketinggian, konstruksi stadion, tempat mereka bekerja. Konstruksi stadion di Qatar banyak mempekerjakan pekerja migran dari luar negara, mereka datang dari negara-negara asia seperti India, Bangladesh, Nepal, Pakistan dan Srilanka. Dari total pekerja migran di Qatar, Nepal sendiri menyumbang sekitar 20% pekerja. Lemahnya standar keselamatan kerja telah menjadi sorotan banyak pihak, dikuatirkan apabila tidak segera diperbaiki maka hingga akhir tahun 2022 nanti atau saat dinyatakan selesai pembangunan semua venue angka tewas pekerja migran akibat kelalaian pekerja, akan mencapai angka 4000 (empat ribu jiwa) atau 10 (sepuluh) kali lipat dari jumlah yang tewas saat ini. Tokoh opisisi Inggris dan menteri bayangan (shadow minister), bidang pembangunan Internasional dari partai buruh, Jim Murphy, yang akan mengunjungi Qatar bersama dengan Pangeran Charles menyesalkan banyaknya pekerja migran yang tewas di Qatar sebagaimana dilansir the guardian hari ini. Ia membandingkan kondisi qatar yang buruk dengan London, dimana tidak ada seorangpun (zero fatalities) yang meninggal saat pembanguan berbagai venue pada Olimpiade London 2012 lalu. [caption id="attachment_312293" align="aligncenter" width="460" caption="source theguardian"][/caption] Minimnya perhatian atas keselamatan para pekerja akibat kontraktor dan sub-kontraktor mengesampingkan "standar keselamatan pekerja" dengan membiarkan para pekerja migran bekerja melebihi batas waktu normal, demi untuk memperoleh tambahan uang (lembur). Tetapi masuk juga laporan mengenai kasus penganiayaan pekerja migran, sebagaimana dilaporkan koranObserver. Kasus yang dialami oleh Noka Bir Moktan (Oktober 2013) yang dinyatakan meninggal karena "serangan jantung mendadak" tidak sesuai kenyataan. Dalam foto-foto jenazah Moktan terlihat adanya sayatan di dadanya yang berkorelasi dengan penganiayaan. Sungguh miris, melihat peristiwa dan kasus penganiayaan Moktan yang bersal dari sebuah desa miskin di di strik Ilam di Nepal. Ayahnya meminjam 175,000 rupee atau sekitar 1000 pound untuk memberangkatkan Moktan bekerja di Qatar dengan harapan ia dapat mengirim kembali uang yang telah dipinjamkan Ayahnya, namun justru penganiayaan yang dialami oleh Moktan. Lebih menyedihkan lagi ternyata uang yang dipinjam Ayahnya Mohtan itu bukan langsung dipinjamnya dari seseorang, melainkan pinjaman yang dilakukan oleh agen atau perusahaan pengirim tenaga kerja dari rentenir yang berbunga tinggi. Beban berat kini menjadi taruhan para pekerja imigran apabila kemudian mereka tewas di Qatar, keluarganya di Nepal atau negara lainnya menjadi tumbal membayar pinjaman yang hampir semuanya diperoleh agen tenaga kerja dari rentenir setempat dengan bunga sangat tinggi. Kasus-kasus tipikal Moktan tersebut, membuat Amnesti Internasional , November lalu, mengecam dan memperingatkan pemerintah Qatar untuk menerapkan stansar Keselamatan dan Kesehatan para pekerja migran sesuai Hak Azasi Manusia. Bukan hanya kecelakaan kerja, namun perhatian kesehatan para pekerja migran yang minim membuat banyak pekerja sakit tidak dapat diobati secara optimal. Pekerja yang tinggal di bedeng-bedeng yang kumuh dan kotor sangat kontras engan kehidupan rakyat Qatar yang Mewah. Air kotor yang mereka minum dan digunakan untuk memasak juga kotor, jauh dari standar umum kesehatan, satu bedeng dipenuhi banyak pekerja yang tidak sempat mandi karena padatnya jam kerja mereka. Lebih mengherankan lagi para pekerja migran bersedia bekerja sistim "rodi" demi upah lembur yang dijanjikan para kontraktor dan subkontraktor mereka, yang pada akhirnya mengancam kesehatan dan keselamatan jiwa mereka sendiri. Qatar memang kaya, namun telah mengorbankan banyak jiwa demi pesta olahraga dunianya, menjadi cacatan harian bersama melihat banyak jiwa "melayang tak tahu rimba". Prihatin bukan kepalang, ternyata banyak juga pekerja migran yang mempertaruhkan nyawa demi gemerlapnya Piala Dunia Qatar !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H