[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Prabowo Subianto saat disambut Suryadharma Ali di kantor DPP PPP, Jakarta, Jumat (18/4/2014). (Kompas.com/ Ican Ihsannuddin)"][/caption] Ini bukan drama tenggelamnya sebuah kapal, sebut saja menyerupai Titanic yang menabrak karang es, tetapi sebuah "kapal" organisasi politik bernama Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Di tengah-tengah proses jalannya demokratisasi Pencapresan 2014, PPP justru dilanda kemelut internal yang memungkinkan perpecahan di tubuh partainya. Mengapa hal itu bisa terjadi dan bagaimana implikasi politiknya? Apakah kemelut tersebut akan menjatuhkan Surya Dharma Ali (SDA) selaku ketua umum partai dan bagaimana solusi terbaik agar PPP yang terbentuk 5 Januari 1973 itu terhindar dari kehancuran? Di internal PPP ada kalimat yang sering mereka ucapkan: "tidak ada kawan politik yang abadi, yang ada hanya kepentingan!". Kalimat itu kini bak pisau bermata dua (double jeophardy), kini menjadi kenyataan bagi mereka sendiri.
***
Dinamika sebuah organisasi politik (baca : partai politik) selalu terjadi di mana-mana, tidak ada partai politik yang tidak mengalami dinamika internal. Namun apabila dinamika itu menuju perpecahan menggunakan kekuatan internal (coercive) dan menjadi konflik radikal, tentu akan mengakibatkan kehancuran organisasi, dan implikasinya akan menghilangkan kepercayaan publik terhadap soliditas partai dimaksud.
Sebagai salah satu peserta pemilu 2014, PPP baru saja menyelesaikan satu aktivitas hajatan kerja, yaitu pemilu legislatif, dengan hasil perolehan 6,70% atau hanya meningkat sedikit saja dari perolehan suara pileg 2009 yang 5,32%.
Perolehan itu apabila dilihat dari sejarah kepesertaan Pemilu sejak 1977 merupakan hasil yang paling jelek kedua setelah pemilu legislatif 2009 lalu. Jauh dari hasil terbaiknya yang diperoleh PPP tahun 1977 (29,29%) dan pemilu 1982 (27,78%). Di jaman Orba PPP pernah meraih suara yang signifikan 22,43% pada pemilu 1997, dan perolehan hasil terbaik di jaman reformasi dicapainya pada pemilu 1999 dengan raihan suara sebanyak 10,71%.
Bisa dinyatakan sejak tahun 1977 hingga tahun 1982, PPP adalah sebuah partai besar, kini dengan hanya beberapa angka di bawah ketentuan minimal masuk parlemen yang hanya 3%, PPP apabila dianalogikan sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir hanya lulus pas-pasan, sedikit di atas ketentuan indeks prestasi minimal yang diterapkan. Dalam konteks hasil pileg 2014 yang hanya pas-pasan itulah yang kini menempatkan PPP sebagai partai gurem, partai yang tergantung partai lain.
Kondisi itulah yang menyulut ketidak puasan elit internal partai. Maka dicarilah "kambing hitam". Ketum partai SDA yang dianggap secara sepihak menghadiri kampanye akbar Partai Gerindra dan mendukung secara terang benderang Prabowo Subianto (PS) sebagai Capres di Gelora Bung Karno saat masa kampanye legislatif lalu dianggap elit partai menyalahi Mukernas PPP di Bandung. Dalam Mukernas PPP itu Prabowo tidak masuk dalam daftar 8 (delapan) Capres yang telah ditetapkan, namun SDA nekat hadir dengan jaket kebesaran PPP serta mendukung PS yang terpancar dalam pidato politiknya saat kampanye akbar partai Gerindra. Edan! Kemudian muncul adagium politik baru: "Ketum PPP tapi rasa Gerindra".
[caption id="attachment_320643" align="aligncenter" width="634" caption="ilustrasi kapal pecah 2 bagian, (sumber foto :EPA)"]
Di sebagian kalangan elite PPP, tindakan SDA dianggap memalukan. Protes dan makian internal bagaikan api yang disiram minyak tanah, semakin besar dan membara. Entah siapa yang menggulirkan isu wacana penggulingan SDA sebagai ketum, situasi ini berhasil memancing kemarahan SDA. Selaku ketua umum hasil Muktamar (forum tertinggi partai), SDA mengganggap ancaman elit DPW dan DPP itu sebagai bentuk makar yang bertentangan dengan konstitusi partai (AD/ART PPP). Ia secara emosional, kemudian memecat beberapa elite DPP dan DPW tersebut.
Sekjen PPP Romahurmuziy (yang konon memegang banyak rahasia SDA) pun dipecat SDA. Sang Sekjen itu"dimutasi" menjadi Wakil Ketua Umum, sebuah jabatan yang kurang strategis dibandingkan jabatan Sekjen. Situasi memanas karena Romy (nama kecil Romahurmuziy) melawan dengan menggelar Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) pada Sabtu 19/April/2014 dengan tujuan mengevaluasi dalam rangka pelengseran SDA dari ketum partai (baca: memecat SDA) yang dianggap telah melanggar konstitusi partai (AD/ART PPP).
***