Sudah berkali-kalibeberapa Partai Politik mencederaijanjinya terhadap rakyat. Kali ini aroma balas dendam terhadap kekalahan dalam Pilpres masih tercium. Akan tetapi yang lebih tajam lagi sebenarnya adalah aroma busuk anti pemberantasan korupsi di dalam anggota DPR yang tercium tajam.
Apa sebabnya? Adalah RUU Pilkada yang rencananya akan disahkan oleh DPR tentang Kepala Daerah akan dipilih oleh DPRD.Setelah berhasil menggolkan undang-undang MD3 sekarang di masa-masa injury time, anggota-anggota partai koalisi busuk berusaha memperkuat posisi mereka dalam upaya menggganggu jalannya pemerintahan baru dan melanggengkan praktek korupsi.
Mengapa demikian? Kita harus lihat apa yang ada dibalik rencana tersebut, alasan dan bahayanya Pilkada apabila dipilih anggota DPRD.
Saat ini pola pemerintahan kita berada dalam posisi yang kritis, dimana pendulum kekuasaan yang pada masa Orde Baru lebih berat kepada Lembaga Eksekutif, kini lebih berat pada Lembaga Legislatif.
Yang menjadi masalah adalah, Lembaga Legislatif diisi oleh orang-orang yang tidak bersih, dan korup sehingga urusan pemerintahan menjadi ladang baru bagi mereka untuk mencari proyek, untuk mendapatkan uang, apalagi setelah biaya besar-besaran yang mereka keluarkan agar dapat menduduki posisi dewan yang terhormat.
Kondisi saat ini, ditambah dengan tumpulnya Lembaga Yudikatif, sehingga menjadikan KPKÂ satu-satunya lembaga yang mengawasi kinerja anggota Dewan. Dan ini pula yang menyebabkan KPK menjadi sasaran tembak untuk dilumpuhkan oleh anggota-anggota Dewan yang kotor.
Kembali kepada koalisi busuk yang suka mencederai hati rakyat. Kali ini rencana mereka adalah meloloskan UU Pillkada tidak langsung tersebut, dengan alasan satu saja, bahwa biaya yang dikeluarkan akan lebih hemat.Terdengar sebagai alasan yang mulia, akan tetapi dibalik itu sebenarnya tidak masuk akal.Mau lebih hemat? Pilih saja satu orang Raja dan anggota Dewan, biar mereka yang memilih seluruh pemimpin daerah. Lebih hemat kaan! (begitu kata salah satu teman saya)
Yang tidak masuk akal adalah,Pertama,partai-partai ini lahyang dulu menginginkan pemilihan kepala daerah secara langsung, sekarang setelah kalah dalam Pilpres berbalik mendukung pemilihan kepala daerah tidak langsung.
Kedua, dalam proses demokrasi memang ada biaya yang harus dikeluarkan, akan tetapi biaya ini dilakukan untuk menjaga agar hak rakyat tetap berjalan. Dengan pemilihan tidak langsung, maka pemimpin-pemimpin muda alternatif cemerlang tidak akan muncul karena lebih dulu dikebiri oleh anggota Dewan. Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Bima Arya adalah beberapa sosok pemimpin alternatif muda yang merupakan pilihan rakyat karena dilihat dari kerja kerasnya.
Salah seorang anggota Dewan yang mendukung berkata, pemimpin daerah yang dipilih dewan akan lebih mudah diatur, biasanya yang langsung dipilih oleh rakyat susah diatur.Ini merupakan salah satu kalimat anti demokrasi dan RUU ini adalah juga produk anti demokrasi.
Ketiga, biaya politik yang katanya akan lebih hemat kalau pemimpin dipilih anggota Dewan bukannya akan hilang, biaya itu akan tetap ada, hanya kemudian menjadi biaya politik diam-diam, tersembunyi yang masuk ke kantong-kantong anggota dewan dalam lobby-lobby politik mereka yang haus kekuasaan.
Yang perlu diperbaiki adalah proses penyelenggaraan Pilkada Langsung, bukan membalikkan dan meniadakan proses tersebut dan menggantinya dengan pola lama, pola orde baru.
Dengan mengajukan RUU Pilkada tidak langsung ini, bukan hanya balas dendam yang mereka rencanakan, akan tetapi koalisi partai busuk menghendaki penguasaan sebagian besar propinsi berada di tangan mereka.Mengamankan proyek-proyek tetap berada di pihak mereka, dalam rangka pendanaan untuk persiapan Pemilu mendatang.
Partai-partai dalam koalisi busuk yang mendukung RUU Pilkada tidak langsung ini, harus selalu diingat oleh rakyat, terutama PKS dan Gerindra yang didukung oleh Demokrat. Karena mereka inilah sebenarnya penghalang demokrasi di Indonesia. Mereka inilah orang-orang anti pemberantasan korupsi yang berlindung dibalik politik hemat anggaran.
Pelajaran besar yang harus diambil oleh rakyat adalah untuk tidak memandang enteng Pemilu Legislatif yang akan menentukan berapa banyak kursi yang mereka dapatkan di DPR dan DPRD.
Kita harus menentang dengan lantang RUU Pilkada tidak langsung karena membahaykan demokrasi,
Saatnya memberi mereka pelajaran besar, saatnya rakyat memberi sanksi sosial dengan menghabisi kursi partai mereka di pemilu berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H