Masalah kesetaraan gender di lingkungan kerja masih menjadi permasalahan sampai sekarang. Seharusnya perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama dalam meniti karir. Sayangnya kenyataan di lapangan tak demikian.
Adanya stereotip terhadap laki-laki yang dinilai lebih kuat, tegas, dan mengutamakan logika menguntungkan dalam dunia kerja. Tak heran ketika perempuan memasuki dunia kerja milik "laki-laki" banyak yang mempertanyakan keinginannya. Contohnya, perempuan yang ingin berkarier di bidang teknik elektro akan mendapat lebih banyak cercaan.Â
Stereotip yang melekat pada perempuan adalah lemah lembut. Sehingga banyak pekerjaan perempuan berhubungan dengan stereotip tersebut seperti perawat, pramugari, dll. Jumlah perempuan yang bekerja memang meningkat. Akan tetapi jumlah perempuan yang menduduki jabatan tinggi sangat sedikit.Â
Glass ceiling pertama kali diperkenalkan oleh Wall Street Journal pada tahun 1986. Menurut Jackson(2001), glass ceiling adalah sebuah fenomena dimana adanya hambatan bagi perempuan untuk menduduki posisi senior level di satu perusahaan. Hambatan ini bisa terjadi karena adanya stereotip gender dan juga tradisi perusahaan.
Glass ceiling adalah sesuatu yang sering kali tak terlihat tapi nyata keberadaannya. Glass ceiling terjadi juga dikarenakan anggapan bahwa wanita akan menikah kemudian cuti hamil. Sehingga hal tersebut akan mengurangi kualitas pekerjaan. Lantas apa yang harus dilakukan perempuan jika mengalami fenomena ini di lingkungan kerja?. Simak 4 cara menanggapi glass ceiling di lingkungan kerja.Â
1. Percaya DiriÂ
Penelitian yang dilakukan oleh Laksanti et al., (2017) dalam artikel "Menginvestigasi Fenomena Glass Ceiling : Mitos atau Fakta?" mengemukakan bahwa menurut para narasumber adanya ketidaksetaraan gender dikarenakan sikap perempuan sendiri yang kurang percaya diri.Â
Percaya diri adalah kunci agar orang lain bisa percaya juga. Dalam lingkungan kerja perempuan harus percaya diri dengan kemampuan yang ia miliki.Â