Waktu berlalu demikian cepat. Ternyata kemarin ibunya baru bertambah usia di angka delapan puluh, maka potret sang ibu malah terlihat asing baginya. Ketika saudaranya mengirim foto dari kampung, ia hampir tak mengenali ibunya yang tubuhnya makin kecil. Semakin mengingat keluarga jauhnya di sana, ia bekerja lebih keras lagi agar bisa pulang. Bisa kembali.
Besok aku pulang kalau kerjaku sudah selesai, janjinya hari ini
ya besok adalah hari biasa yang akan ia lalui sampai pukul sembilan malam, jam kerjanya selesai.
Satu-satunya waktu yang ia kenali hanya malam, sepanjang ingatan menghangatkan dirinya. Sejujurnya, ia tak pernah merasa sendiri saat itu. Ia ramai dengan mereka semua. Ditemukannya rasa sepi lebih banyak di pagi, ketika berjalan bersama rekan- rekan kerjanya, atau duduk di tengah kesibukan kantor, dan berbicara di hadapan banyak orang. Di situ ia selalu merasa seorang.
***
"Kapan aku bisa pulang?"
Tahun-tahun kemarin, ia pernah amat ingin pulang, dikejar hutang sana-sini dan realita telah mematikan lampu-lampu mimpinya. Ponsel terus berdering, nomor teleponnya telah menjadi sasaran empuk serangan penagih utang, bahkan beberapa kali ia dibuntuti dari rumah ke rumah lain. Padahal sudah lama lunas, ia juga sudah tidak pernah meminjam pada siapapun.
Akhirnya bebas juga dari hutang sialan itu. Akhirnya kini, ia bisa makan sepuas-puasnya.
Namun bagi Si perempuan, telepon menjadi momok yang mengerikan, ia jarang mengangkat telepon kecuali nomor yang dikenalnya. Nama kontak yang paling akrab baginya hanya satu, ibunya. Bahkan itu pun, sering ia matikan jaringannya karena kehabisan pulsa. Mungkin karena itulah, ibunya pikir ia sibuk sekali di kota. Panggilan-panggilan terbengkalai itu tak di sapa pemiliknya yang lebih sering mengetik pesan singkat.
***
Suatu senja yang sepi, ia bermimpi terbangun karena dering telepon yang berbunyi terus- menerus. Si pemanggil tak bernama. Kemana-mana ia coba berpikir, siapa yang menelepon berkali-kali begini? Jantungnya berdebar ketika mengangkat: