"Aku tidak tahu kapan ini berakhir?" Keluh seorang perempuan yang lagi-lagi menemukan jebakan baru tercecer di mana-mana, ulah dari kucing ibu Sely, pemilik empat rumah petak paling murah di kawasan Jakarta Selatan, yang  entah kenapa- suka sekali bertengkar dengan kucing jantan lainnya. Sambil lari terbirit- birit saking ketakutannya, kucing galak itu mengikuti sepak terjang si kucing liar membelah lorong memanjang di rumah petak ini. Jadilah di sekitar pintu-pintu rumah itu selalu ada ranjau yang terlihat seperti jejak tersangka.
Kring..!!
Perempuan itu tersentak, lantas menekan tombol hijau pada telepon genggamnya, yang berarti jawab panggilan dan terdengarlah suara melengking bosnya, serupa saingan Eminem. Sayangnya, Â alih-alih merdu, perempuan itu jutru merasa nyawanya semakin dipangkas perlahan, dan lama-lama, ia takut membayangi akan mati berdiri saat diburu deadline pekerjaan, sedangkan perutnya sudah keroncongan dari semalam seolah-olah mengatakan "pilih mati atau makan?"
Belum sampai dua menit, si penelepon menggeram
"Sudahlah, karena ini awal bulan, saya mau pergi ke luar kota, saat kembali, pastikan proposal yang sudah direvisi ada di meja saya!" Salak si Bos di ujung kalimat.
Tut-
bahkan, lawan bicaranya belum sempat mengatakan satupun kata balasan, sambil menghela nafasnya yang terputus-putus, Perempuan itu memandangi langit kusam kamarnya, begitu dekat dan pendek jarak dengan kepalanya. Tidak tinggi atapnya seperti rumah di kampung halaman.
Malam kemarin, lagi-lagi bulan berganti, tahun ini konon akan kiamat menurut berita simpang siur. Entah sejak kapan, ia memang lupa dengan tanggal, hari atau bulan, menurutnya semua waktu itu tidak ada bedanya kini. Bekerja dan tidur seperti orang simulasi mati, dirasanya itu justru lebih untung, daripada berlomba-lomba menggocek kantong hanya demi menikmati malam minggu di ibukota, atau karena dia benci mengakui sendirian di malam kemarin, juga malam-malam sebelumnya?
Di layar ponselnya, tertera nomor paling atas yang paling suka menanyakan kabar. Suara ibunya tak pernah berubah, selalu sarat kekhawatiran dan haru di sana. Kadang, ia berusaha menyembunyikan rindu pada anaknya, satu-satunya putri yang malah memilih merantau, membanting tulang demi menyelamatkan diri dari hutang- piutang mendiang ayah. Meski si perempuan tahu, ia memilih pura-pura tak menyadari setiap kali ibunya bertanya "Kapan Pulang?" Ia hanya merasa terlalu berat menceritakan segala kebanggaannya di tengah semrawutnya hidup terlalu bebas.
Ia tidak pernah lupa suara ibunya, walau bayang wajahnya terkenang samar-samar. Bukan, sebenarnya ia tidak tahu wajah ibunya, Â karena di ingatannya yang sudah berdebu, hanya ada kenangan sosok wanita berusia pertengahan empat puluh tahunan, sedang memetik belimbing di halaman, sebelum ia pergi dari kampung terpencil itu.