Mohon tunggu...
M. Irham Jauhari
M. Irham Jauhari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Pendiri Terapifobia.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menunda Menulis, Memupuk Rasa Bersalah

26 April 2023   01:25 Diperbarui: 29 April 2023   18:06 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi "Hanya Sebuah Angka", Foto oleh Cats Coming dari Pexels.com

Saya sampai pada satu titik. Dimana Kompasiana menjadi salah satu aplikasi yang setara dengan Facebook bagi saya. Pada tahun 2011, setiap hari satu-satunya aplikasi yang paling sering saya kunjungi, adalah Facebook. Waktu itu saya tidak punya gawai. Sekarang dua belas tahun berselang, saya memakai gawai dan aplikasi Kompasiana adalah yang paling sering saya pakai setelah WhatsApp.

Kompasiana bagi saya, persis Facebook. Ketika saya update status. Notifikasi terasa begitu penting. Menimbulkan perasaan bahagia, senang dan penting. Meskipun lebih sering kosong. Ada perasaan seperti menunggu notifikasi itu datang.

Perasaan itu menjadi sedikit berubah, setelah saya menonton Rebel in the Rye. Menulis itu bukan soal angka. Menulis itu pekerjaan berat yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Membuat cerita sederhana, cerpen, novel, atau apapun itu. Itu tentang hati. Tidak cuma soal angka. Meskipun pada saat tertentu angka itu penting. Tapi poin terpentingnya bukan pada angka, seberapa banyak orang yang membaca. Tetapi lebih dari sekedar itu. Menulis itu tentang seberapa penting sebuah tulisan itu penting untuk ditulis, dibaca, dipahami, dicetak dan disebarluaskan. Seberapa penting.

Tetapi, untuk mencapai titik menciptakan karya yang "penting". Seseorang harus membuang sebagian waktu hidupnya untuk membuat tulisan sampah yang tidak layak dibaca, apalagi dipahami dan diingat oleh sebagian besar manusia di muka Bumi. Seseorang harus membuang sebagian waktunya untuk membuat hal-hal bodoh, sampai akhirnya bisa menciptakan hal-hal yang berguna.

Selain karena tidak punya semangat menulis yang cukup. Saya menjadikan hal itu sebagai alasan untuk tidak menulis. Tapi, sebuah pertanyaan menghantui saya, "apakah kamu benar-benar ingin menjadi penulis seperti yang kamu impi-impikan?"

Pertanyaan itu terus terngiang di telinga. Lama kelamaan menjadi sebuah rasa bersalah ketika saya tidak menulis apapun pada hari itu. Namun ketika saya menulis, saya diterpa perasaan bersalah dan tak berguna karena menghasilkan tulisan sampah.

Ingat kata Gary Vee, satu lebih baik daripada nol. Kita tidak akan pernah tahu siapa yang akan "menikmati" karya kita. Perkataan Gary Vee itu memotivasi juga men-demotivasi saya. Satu sisi kita tidak akan pernah tahu tulisan kita akan sampai ke siapa. Di sisi lain, kita tidak mau orang menikmati "sampah" yang kita buat.

Karena diterpa rasa bersalah. Saya pun menulis. Kadang-kadang tulisan itu hanya tertuang dalam angan-angan. Kemudian hilang bersama kesibukan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun