Seberapa sering kita berhenti sejenak. Meletakkan HP. Lalu menengok ke sekeliling. Mengamati lingkungan tempat kita berada. Melakukan apa yang orang Amerika katakan, here and now.
Saya pun pada awalnya merasa ada sesuatu yang hilang. Ketika tidak memegang HP di tangan. Seolah kehilangan pegangan hidup. Seolah ketinggalan zaman.
Zaman telah berubah. Saya masih bisa menikmati masa anak-anak kecil bermain sepakbola dengan alat seadanya. Tiang gawang dari sandal jepit.
Mengelilingi desa dengan beberapa kawan. Bercengkerama dengan saling memandang. Urusan HP hanya soal Snake Xenzia.Â
Anak-anak sekarang sudah dimanja teknologi sejak kecil. Bahkan sebelum mereka lahir. Mereka mendengarkan musik yang diputar dari YouTube!Â
Kita mungkin sudah hapal pola perilaku anak-anak zaman sekarang jika bicara soal HP. Dan, mungkin memang sudah zaman mereka. Sudah menjadi bagian hidup mereka. Wes jatahe.
Makanya, saya pun mengangguk, ketika seseorang menjelaskan alibinya kenapa dia memberi akses HP untuk anaknya, "Jika anak tidak dikasih HP, maka dia akan sulit bergaul. Karena semua temannya megang HP."
Ini baru 2023, ketika teknologi ChatGPT sudah membuat heboh jagat Maya. Saya jadi membayangkan bagaimana hebohnya dunia, ketika teknologi seperti yang ada di film Her benar-benar menjadi nyata.
Apa yang sedang kita alami mungkin adalah proses menaiki tangga zaman. Teknologi semakin tinggi. Semakin kita naik ke atas. Semakin kita dimanjakan oleh teknologi.
Tetapi, sebuah masalah klise yang bernama kemiskinan pun masih merajalela. Bahkan ketika teknologi secanggih sekarang. Orang-orang yang dulu miskin, sekarang pun 'tak jauh berbeda'. Benar, bahwa peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia semakin naik. Namun, teknologi sampai saat ini belum bisa membuat angka kemiskinan menjadi nol.