Jakarta - Panas udara Jakarta membuahkan keinginan untuk menikmati kelapa ijo. Kulit rasa tersengat, leher panas berkeringat, dan mulut terasa kering. Mungkin kelapa ijo yang baru saja dibelah, isi air dan dagingnya bisa mengobati sakit akibat udara panas.
Benar saja. Air kelapa ijo, itu manis dan segar di mulut. Membasahi tenggorokan, mendinginkan isi kepala dari ketegangan hidup. Sejenak.
Ah, itu tetangga baru saja keluar rumah. Penampilannya eksentrik. Rambut bercat kuning dan soft lens biru. Kutawari minum kelapa ijo bersama tapi ia sedang tergesa-gesa. Mau ke mall, katanya.
Sambil berlalu, pandangnya, tertuju pada perut bunting kekasih hati. Ia berhenti, lalu bertanya soal nama calon penghuni bumi. Kubilang masih dipersiapkan.
Tetanggaku mengusulkan agar menggunakan nama-nama dari Eropa atau Amerika untuk bayi yang masih dalam rahim. Olivia, Emily, Charlotte, Queenze dan seterusnya. Kata dia, nama-nama itu enak disebut dan bisa diterima di pelbagai belahan dunia. Universal.
Ia berlalu. Kelapa ijo sisa setengah gelas.
Tak terpikir untuk memberi nama anak kelak dengan nama yang biasa digunakan di Eropa atau Amerika. Selain agak sukar diucapkan dengan lidah, juga seperti kehabisan nama-nama baik dari daerah/kewilayahan.
Pada nama, terdapat harapan si pemberi nama. Bermakna dalam kata. Bermakna dalam hidup dan kehidupan. Bukan soal asal nama itu dari mana juga, tapi bagaimana makna nama itu bisa diaplikasikan dalam kehidupan si penyandang nama. Namamu, namaku, nama kita, nama bermakna.
Sekarang, kelapa ijo sudah habis seiring kutinggalkan cerita tentang nama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H