Mohon tunggu...
Irgi Ahmad N
Irgi Ahmad N Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi S1 Hukum Ekonomi Syariah

Penjelajah imajinasi, peracik kata, dan pendengar cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Waktu di Kaki Senja

7 Desember 2024   14:25 Diperbarui: 7 Desember 2024   20:28 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja merayap perlahan di atas cakrawala, melukis langit dengan semburat jingga yang seolah berbisik tentang perpisahan. Angin sore berembus lembut, membawa aroma nostalgia seperti bisikan waktu yang mengingatkanku pada rumah yang kini hanya hidup dalam ingatan.

Di sanalah semuanya bermula. Sebuah pondok kecil berdiri di tepi ladang, dengan suara ibu yang selalu mengalir seperti doa di setiap sudutnya. Ia sering berkata, "Hidup ini seperti air sungai, Nak. Ia mengalir, tak pernah menoleh, namun selalu meninggalkan jejak di batu-batu yang dilewatinya."

Aku tak pernah benar-benar memahami ucapannya--hingga perjalanan waktu menuntunku melewati aliran-aliran yang tak pernah kukira ada.

Aku masih ingat saat pertama kali meninggalkan kampung halaman. Sebuah kereta tua membawaku ke kota yang asing, di mana gedung-gedung tinggi berdiri angkuh seperti raksasa yang tak pernah peduli pada pejalan kecil sepertiku. Langkahku tertatih, membawa beban mimpi yang terasa terlalu besar untuk pundak yang rapuh.

Di kota itu, aku belajar tentang kesepian,kesunyian yang tak lagi berbentuk malam, melainkan gemuruh bising yang tak pernah memberi ruang untuk mendengar suara hati sendiri. Tapi di tengah keramaian itu, aku juga menemukan cinta, yang datang seperti matahari pagi, menghangatkan sudut-sudut jiwa yang telah lama beku.

Namun, seperti halnya senja yang selalu datang setelah siang, kebahagiaan itu pun berlalu. Ia pergi, meninggalkan aku dengan kenangan yang terlipat rapi di sudut waktu. Kehilangannya mengajarkanku bahwa cinta bukanlah milik yang abadi; ia adalah tamu singkat yang hadir untuk mengajarkan arti memiliki, lalu pergi agar kita belajar arti merelakan.

Aku terus berjalan, melangkah di antara kerikil-kerikil tajam yang menghiasi perjalanan ini. Sesekali aku berhenti, menatap ke belakang, mencari makna di antara pecahan-pecahan waktu yang telah berlalu. Aku bertanya, "Apakah tujuan dari semua ini? Apa yang sebenarnya kucari di ujung jalan ini?"

Jawabannya tidak pernah datang dalam bentuk gemuruh besar. Ia muncul di sela-sela keheningan: dalam senyum seorang anak yang kutemui di jalan, dalam tetesan hujan pertama yang membasuh bumi setelah kemarau panjang, atau dalam secangkir teh hangat di pagi yang dingin. Hal-hal kecil itu, yang sering luput dari perhatian, perlahan mengajarkanku bahwa hidup bukanlah tentang tiba di tujuan, melainkan tentang setiap langkah yang kita ambil.

Hidup, seperti senja yang kulihat sekarang, adalah keindahan yang ditemukan di tengah perpisahan.

Kini aku berdiri di atas jembatan tua, memandang sungai yang mengalir tenang di bawah sana. Airnya membawa bayangan langit jingga, seperti membawa cerita-cerita yang tak pernah benar-benar hilang. Aku sadar, perjalanan ini bukan tentang menemukan sesuatu di ujung sana, melainkan tentang bagaimana aku hadir sepenuhnya dalam setiap momen.

Aku mengingat kembali kata-kata ibu, tentang air sungai yang mengalir tanpa menoleh. Dalam alirannya, aku menemukan diriku---retakan-retakan yang perlahan terisi oleh penerimaan, oleh keindahan yang selalu ada di setiap persimpangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun