Mohon tunggu...
Irfan Ariq
Irfan Ariq Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Indonesia Harus Pintar

27 April 2017   17:08 Diperbarui: 28 April 2017   02:00 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dengan isu suku dan ras, mereka saling mengolok dan menyindir. Dengan perbedaan gender, mereka saling meremehkan. Dengan isu agama saja, masyarakat Indonesia mulai terpancing dan saling menyalahkan pihak satu dengan pihak yang lain. Karena perbedaan pendapat, mereka tak lagi bersatu, mereka menganggap jika seseorang yang tidak sepaham dengannya berarti dia adalah musuh. Gejala cuek, tak acuh, dan saling mencibir ditengah masyarakat Indonesia ini menjadi salah satu bahaya yang mengancam persatuan di Indonesia. Ini sesuatu yang konyol menurut saya.

Hal seperti ini bukan hal baru di Indonesia, dapat ditarik sejarah di tahun ’40-an ada organisasi bertajuk agama yang berpikiran radikal, keras, dan fanatik, yang menuntut Negara Kesatuan Republik Indonesia agar dijadikan negara dengan tajuk agama tersebut alias seluruh masyarakat dituntut untuk memiliki agama yang sama dengan organisasi tersebut, dan Bung Karno dianggap sebagai penghalang pemikiran tersebut karena Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan yang lain. Bukan jalan damai dan diplomatis yang dilalui organisasi tersebut, melainkan percobaan pembunuhan Presiden pertama kita yang dikenal dengan peristiwa Cikini di tahun ’50-an. 

Isu ini juga pernah ada di jaman kepemimpinan Soeharto, yaitu isu “Cina” karena dianggap bukan etnis asli Indonesia dan hanya sebagai pendatang, dan juga etnis Cina pernah disangkut pautkan atau memiliki korelasi dengan Komunis sehingga etnis Cina dan Komunis memiliki konotasi yang buruk karena propaganda pada Orde Baru. Yang menuduh Komunis adalah Atheis, tidak bertuhan, dan lain-lain. Faktanya, Tan Malaka, dengan karyanya “Madilog”, salah satu tokoh penting dalam pergerakan Indonesia karyanya ternyata memiliki ideologi Komunis dan ia seorang muslim yang taat. 

Dan lagi-lagi terjadi kasus memilukan sekaligus memalukan di Indonesia di tahun 2016/2017 ini, dengan kasus yang hampir sama yaitu organisasi agama yang radikal ini ingin menjatuhkan seseorang dengan cara demo besar-besaran. Hal ini digunakan untuk menciptakan pandangan baru terhadap sesuatu. Kasus ras dan agama dijadikan alasan untuk menyebarkan “fitnah” seperti itu, dan parahnya banyak orang yang mempercayainya. Bukan isu agama saja yang membuat perpecahan. Isu perbedaan suku, ras, dan daerah, masih sering saya dengar “Ah, orang Jakarta begini”, “ah, orang Jawa begitu”, “Dayak begini”, “orang Timur begitu”. Selalu penilaian mereka terhadap seseorang berdasarkan cara pandang yang hanya dilihat dari satu sisi. Pikiran yang seperti itu adalah pemikiran yang tidak terbuka dan sempit.

Kalian bisa melihat ke linimasa media sosial hari ini. Entah itu Facebook, Twitter, Instagram, atau LINE. Kalian bisa menemui dua kelompok yang saling berperang. Mereka saling bertengkar, melontarkan hinaan, melayangkan gelar perendahan, dan tak jarang mengumbar laknat. Uniknya, kalian juga dapat menemui orang-orang terpelajar dari kedua sisi ini. Walaupun di kedua sisi ini banyak orang-orang terpelajar, pertukaran pemikiran di antara keduanya kadang tidak layak untuk dikatakan bahwa pemikiran yang bertukar. 

Kadang hanya label-label negative yang sifatnya stereotipikal saja sebagai warna perbincangan di media sosial. Ada yang menggunakan gaya berbahasa bijak, ada yang membuat lelucon namun intinya sama, menyerang karakter orang-orang yang berbeda pendapat dan merendahkannya dengan tidak memperhatikan argumen lawan bicara. Selain itu kabar-kabar hoax tidak jarang memakan kedua belah pihak. Jika ada fakta yang tidak baik tentang pihak masing-masing, mereka akan membela dengan membabi buta menggunakan alasan apapun meskipun mengada-ada. Terkesan bahwa ajaran agama untuk berlaku adil dan larangan menyebarkan kebohongan dilupakan. Terasa bahwa budaya literasi yang seharusnya diterapkan menjadi hilang.

Dengan hal seperti, apakah kita bisa disebut menjadi bangsa yang bebas? Bangsa yang merdeka? Apakah kita sudah menjadikan Pancasila yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial yang merupakan dasar negara Indonesia sebagai patokan yang baik. Bung Karno menyusun kelima dasar ini sambil duduk dibawah pohon yang rindang, memikirkan dengan matang demi satu tujuan, gotong royong. Tapi apa yang terjadi di Indonesia saat ini sama sekali tidak mencerminkan Pancasila. 

Individu yang memiliki Tuhan masih mencemooh individu lain yang padahal memiliki Tuhan juga, namun berbeda. Pengucilan, diskriminasi, pembunuhan karakter terhadap suatu golongan merupakan tindakan yang tidak berperikemanusiaan apalagi beradab, dan jelas tidak ada kata persatuan disitu. Dalam berdebat kebanyakan masih mendahulukan emosi dan tidak bijak, bagaimana cara musyawarah mencapai mufakat jika masih ada golongan yang masih tidak setuju dan menggebrak meja?. Dimana ada keadilan sosial, jika masih ada yang tidak bisa membedakan mana keadilan dan mana kesama rataan. Dimana merdeka? Mereka yang beda selalu merasa berbeda dan tidak ingin menjadi satu.

Saya menganggap Indonesia sampai sekarang, sampai detik ini, masih belum merdeka. Mengapa demikian? Karena beberapa orang masih berpikiran sempit, dalam artian hanya melihat suatu masalah dari salah satu sisi atau satu pihak. Beberapa orang masih hidup terkotak-kotak, masih tidak dapat menghargai pendapat orang lain, menganggap pendapat sendiri yang paling benar. Kita masih terjajah oleh bangsa sendiri yang jauh lebih kejam dari bangsa lain. Kita tidak akan pernah merdeka dengan beberapa orang yang berpikiran sempit, egois, dan terkotak-kotak. 

Kita tidak akan menjadi negara yang maju jika manusianya sendiri tidak maju dalam berpikir dan menilai. Sangat naif dan munafik jika di antara kita sudah benar-benar merasa jiwanya merdeka. Lepas dari jajahan negara lain kita mungkin bisa merasakan bangga, bangga kepada pahlawan tanpa tanda jasa. Namun setelah mereka berjuang dengan darah dingin dan air mata membebaskan bangsa ini dari para jajahan dan menjadikan Indonesia ini merdeka, lantas apakah kita sadar bahwa fase-fase sekarang kita sedang di jajah oleh diri bangsa kita sendiri?

Bangsa kita bisa tertinggal dengan bangsa lain, karena mudah terprovokasi dan terpelatuk oleh masalah yang hadir di negaranya sendiri. Masyarakat diharapkan lebih pintar dan kritis dalam berpikiran. Kita boleh miskin harta, tapi jangan sampai miskin ilmu. Pembangunan untuk Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang berkualtas tinggi. Jangan mudah percaya dengan isu-isu yang sebenarnya apabila dilogikakan hanya untuk memecah belah persatuan bangsa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun