Mohon tunggu...
Irfan Teguh Pribadi
Irfan Teguh Pribadi Mohon Tunggu... -

Saya seorang peminat buku dan terkadang suka menulis. Sekarang tinggal di Jakarta. Belum lama seorang kawan saya berkata : "masadepan adalah sekarang, jadi maksimalkanlah hari ini".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kabel Putus

11 November 2010   10:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebenarnya hanya mau pinjam majalah National Geographic, tapi urusannya jadi sedikit rumit. Ini terjadi karena kawan saya bersikap macam buronan, pindah kostan tak kasih kabar, sudah tahu saya mau ke tempatnya. Maka siang itu dapat kau lihat langit Jakarta sedang bagus oleh awan hitam, yang artinya hujan akan segera datang, yang artinya lagi saya dapat menikmati mie ayam dan lalu membakar cigarette dengan mantap. Tak usahlah kau rajin mengutuk cuaca, karena tukang gorengan di ujung gang justru senang dengan cuaca dingin seperti ini, sebab dagangannya akan cepat habis. Lagi pula para pembuat lirik lagu dan para pembuat puisi mendapat berkah juga dari cuaca murung ini. Di bawah payung berwarna biru saya berjalan lewat gang yang disesaki rumah-rumah petak kecil tempat tinggal para pedagang kaki lima, seorang bocah asyik main air yang jatuh dari atap yang bocor. Dua orang pemuda dengan baju pilkada DKI, dan yang satu lagi memakai baju partai pemenang pemilu, nampak sedap betul menghisap cigarette kretek sambil mempersiapkan dagangannya untuk nanti sore, dan sambil mendengarkan radio. Sayup terdengar dari radio itu lagu “Serenada”, suaranya kurang jelas sebab bersaing dengan suara hujan yang berderap menghantam bumi :

Aku ingin nyanyikan lagu

Buat orang-orang yang terbuang

Kehilangan semangat juang

Terlena dalam mimpi panjang

Seorang nenek di atas kursi rusak nan kumuh terlihat sedang merenung, tatapannya mengarah ke tanah yang basah, tapi sebuah tatapan yang kosong. Pikirinnya mungkin sedang menerawang ke masalalu atau hinggap di dapurnya yang kotor dan berdebu, tapi jalan pikiran orang siapa yang tahu. Pemandangan berakhir di ujung gang, di depan sudah terlihat halte bus way. Senen oh Senen, sering betul aku melewati daerah itu, para gepeng berkerumun di lampu merah, tangannya menengadah mengharapkan berkah, siapa tahu ada recehan yang menghampiri tangan kumalnya. Sebagian lagi berteduh di dekat baliho seorang anggota legislatif yang tersenyum ramah sambil mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H”. Saya sampai di Harmoni dan bersegera mencari tahu harus naik mobil jurusan mana kalau mau sampai di Slipi?, nama yang aneh, daerah yang terus mengantuk. Di dekat Menara Peninsula saya berkirim sms tentang alamat jelas, tapi balasannya sangat menjengkelkan, “Gw udah pindah ke Kelapa Gading Bro, aduh sorry gw lupa ngasih tau lo. Lo ke sini aja deh pake taksi ntar gw yg bayar.” Mampus, tahu sudah pindah ke Kelapa Gading tinggal loncat saja naik M53 dari Sumur Batu. “Hei Bung, ente Kelapa Gadingnya di mana?, gw Cuma tahu Boulevard doank.” Lalu menghentikan Burung Biru dan meluncur ke Boulevard. Hujan turun semakin deras.

Rupanya Cempaka Putih banjir, mau ambil jalur alternative tidak bisa, kiri-kanan, depan belakang penuh belaka oleh kendaraan, macet menjadi juara. Ojeg payung berebut pasien di depan komplek Cempaka Mas. Asap mengepul dari gerobak tukang bakso, beberapa perempuan muda mengerubungi gerobak itu. Jalan masih macet, suara klakson meramaikan polusi suara, symbol urat sabar yang telah putus di tengah kota. Umpatan “Anjing, Babi, Monyet” sesekali terdengar dari bus-bus besar. Inilah waktu yang tepat untuk memutar “Ode Buat Kota”. Ponsel berbunyi, sms dari Kelapa Gading, “Udah nyampe di mana lo?, lama banget, gw udah abis empat batang nih di Boulevard.” Tidak saya balas, orang tak sadar lingkungan sekali-kali harus dikasih pelajaran, dia seperti hilang ingatan, bahwa : Jakarta hujan = Jakarta Macet. Akhirnya kemacetan bisa diurai, dan Burung Biru terus melaju ke Kelapa Gading. Di depan Circle K dia duduk di lantai, mukanya penuh dengan rona bosan menunggu, sementara aroma cigarette putih tercium dari radius tiga meter. Tak banyak cakap, kami lalu meluncur lagi dengan Burung Biru menuju ke kostannya.

“Mana National Geographic?”, sambil tangan terus mengacak-ngacak rak bukunya. “Ga ada, kemarin dibawa temen gw, lagian lo kan ga bilang kalo mau pijem majalah itu.” Gagal maning. Ini memang salah saya. Tadi sebelum berangkat, saya hanya bilang mau pinjam majalah, tidak disebutkan majalahnya apa. Akhirnya saya hanya membawa pulang majalah Rolling Stone dan Tempo, tentunya setelah hujan reda. Pulang tidak lagi memaki Burung Biru, cukup 37 dan M53 saja. Beberapa ruas jalan digenangi air, angin bertiup pelan. Di kejauhan terdengar suara letusan, seperti pistol yang menyalak. Datar sekali. Saya merasa hidup di dalam stoples, berputar pada space yang sama. Tak ada lagi minat menulis yang dulu pernah datang menyerbu. Tak ada lagi minat membaca buku yang meluap-luap. Gudang peluru tak terurus, saya hanya mampu membaca majalah dan mendengarkan music. Saya merasa terasing di kamar sendiri.

Just like gravity

You bring me down

Just like gravity

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun