Mohon tunggu...
Irfan Teguh Pribadi
Irfan Teguh Pribadi Mohon Tunggu... -

Saya seorang peminat buku dan terkadang suka menulis. Sekarang tinggal di Jakarta. Belum lama seorang kawan saya berkata : "masadepan adalah sekarang, jadi maksimalkanlah hari ini".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tragicomedy

18 November 2010   05:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:31 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Seorang perempuan muda, saya kira mahasiswi kampus berwarna ungu itu, mencoba masuk ke dalam bus, tapi di ambang pintu sudah dihalau juragan kondektur, ikan asin belum ada satu pun yang turun. Perempuan muda dan sekaligus cantik itu kembali ke halte yang sudah sesak oleh manusia tuna kendaraan. Bosan melihat ke luar, saya mencoba menganalisa penumpang bus yang siapa tahu ternyata adalah copet. Kalau melihat dari wajah memang bukan hal mudah, tapi bisa dilihat dari transaksi penagihan. Penumpang yang tidak bayar dan kondekturnya tidak banyak protes, kemungkinan besar dia adalah copet. Dan copet di bus Mayasari ekonomi sangat jarang ada yang berani bersolo karir, sekali beraksi minimal lima orang, biasalah tipikal orang-orang pecundang yang tidak mau ambil resiko besar. Modusnya rata-rata seragam, yaitu ketika mereka mau turun di dekat basecamp-nya, mereka sengaja menabrak korbannya agar konsentrasi korban pecah, agar si korban terkejut dengan tabrakan yang disengaja itu, dan lengah pada dompet dan Berry Hitamnya. Nanti ketika konsentrasi sudah penuh lagi, barulah korban berteriak, "Aduh, saya kecopetan!!", sementara dompet dan ponselnya yang hilang sudah berada di genggaman tuan-tuan pecundang. Saya lihat kondektur yang masih menagih ongkos, semuanya menyerahkan uang 2000 rupiah. Kemungkinan kali ini copet tidak berani, sebab medan untuk melarikan diri agak riskan, banjir setinggi lutut orang dewasa akan menjadi penghambat lari, dan kalau lambat berarti siap dibantai khalayak ramai, sebuah perhitungan yang cukup pandai.

Bus terus berjalan menyaingi keong paling lambat sedunia. Sudah hampir jam sembilan malam waktu Indonesia bagian banjir, angin sesekali menerobos lewat kaca jendela, memberi nuansa freon kepada tumpukan ikan asin yang selalu nrimo diberi angkutan umum macam begitu oleh pemerintahnya. Sebenarnya bukan nrimo sih, tapi mungkin tak ada waktu buat protes, buat demonstrasi ke Bundaran HI, sementara perut butuh isi, pulsa harus tetap oke, anak harus tetap sekolah, istri hamil lagi, dan aspirasi tersumbat di tengah got. Angin datang lagi, tak ada sedikit pun aroma bulan, benda-benda langit yang biasanya terlihat bercahaya, malam itu hilang berjamaah. Sebentar lagi sampai di Pedongkelan, sebuah daerah yang punya perkampungan seperti di film Slumdog Millionare, tepat di pinggir semacam danau yang airnya hijau bagai kubangan kerbau. Keringat membuat kacamata minus berembun lagi, saya bersihkan dengan baju kerja, pakai lagi, berembun lagi : resiko bermata empat. Saya lihat lagi keluar, oh sudah di Pedongkelan. Di depan sudah terlihat komplek ITC Cempak Mas dan antrian kendaraan yang tak ada putusnya. Sopir berjuang keras mencari celah di tengah kendaraan yang tumpah ruah. Lalu sampailah di perempatan Cempak Mas, dan MasyaAllah... : macet pisan !!!.

Saya turun dan memilih berjalan kaki, Sumur Batu sedikit lagi. Tiga metro mini tenggelam setengah badan, tepat di dekat halte Cempaka Timur. Kemacetan yang benar-benar tidak bisa diurai. Saya naik ke jembatan penyebarangan dan bertemu tiga orang karyawati bank yang sedang seru berphoto-photo dengan latar belakang banjir dan kemacetan, oh pasti buat dipamerkan di fb. Dari atas terasa sekali, Jakarta seperti sarang kunang-kunang yang tak mau berhenti mengeluarkan cahaya. Saya berdiri sebentar di jembatan penyeberangan itu dan kemudian pulang lewat komplek ruko Cempaka Mas. Sandal jepit masih dipijak, dan dingin mulai terasa menyerang. [ ]

27 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun