Mohon tunggu...
Irfan Teguh Pribadi
Irfan Teguh Pribadi Mohon Tunggu... -

Saya seorang peminat buku dan terkadang suka menulis. Sekarang tinggal di Jakarta. Belum lama seorang kawan saya berkata : "masadepan adalah sekarang, jadi maksimalkanlah hari ini".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hot Inside

11 November 2010   10:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:42 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[Bagi yang tidak bisa bahasa Indonesia, jangan ikuti kami bernyanyi]

Di atas apartemen Cempaka Mas, awan putih terlihat seperti gerombolan biri-biri. Inilah wedhus gembel yang berada di langit Jakarta, aku melihatnya dari tempat jemuran. Di bawah, di gang yang setiap hari ramai oleh para pedagang keliling, terdengar suara pengamen ondel-ondel dengan bunyi-bunyian yang dapat membangunkan siapa saja yang sedang tidur siang. Anak-anak ramai sekali mengikuti rombongan ondel-ondel itu, bunyi ternyata serupa dengan kembang gula, dia selalu berhasil menjadi objek kerumunan anak kecil. Salur-salur kawat listrik dan kabel telepon terlihat rumit, energy listrik dan gelombang suara berputar-putar di dekat pohon rambutan yang bertetangga dengan tiang. Penjual ayam tepung mulai beraksi, di dekat got busuk dia mencoba menjaring rejeki. Beberapa baju mulai kering, saatnya dipindahkan ke tempat yang lebih aman sebelum hujan datang lagi dan merusak hasil kerja angin dan matahari. Komposisi pada sebuah siang yang cerah, tapi jangan lengah, sebab hujan senantiasa siap berhambur dari langit dan mengusir siapa saja yang merasa gerah.

Hari sedang sabtu. Setengah hari pekerjaan ditinggalkan. Saatnya berkaca pada dua sisi, kehidupan yang sebatas jarak pandang dan berita luas di televisi. Aku meninggalkan televisi dan bertemu orang-orang di moda transportasi. Banyak buku terbuka di sepanjang Kramat Raya, Salemba, dan Matraman. Manusia dengan segala aktivitasnya bisa dibaca kapan saja. Dengan bantuan angle yang bagus, ritme sehari-hari bisa berubah menjadi nutrisi. Makanan jiwa sesungguhnya sangat dekat, bahkan hampir tidak berjarak. Beberapa pohon angsana terlihat seperti mengantuk, matahari bersinar terik. Aku duduk di barisan kursi sebelah kiri, dekat sambungan bis dan dekat seorang perempuan bermata kelabu. Posisi itu membuat mata bisa melihat fakultas kedokteran UI di Salemba, gedung tua dengan kesan menjaga wibawa. Beberapa langit-langitnya yang di dekat jendela terlihat mengelupas. Gedung sesak sejarah. Dua Orde berguguran. Ketika artis Senayan senang berpelesir, banjir bertukar arti dengan genangan, dan orang bijak rajin makan uang pajak,  akankah prajurit-prajurit Salemba bergegas menyingsingkan lengan?. Jakarta BERKUMIS : berdebar kalau gerimis. Pintu air bertukar menjadi gunung, tumpukan sampah dan mungkin juga bangkai manusia. “Demonstrasi, nyanyian katak di musim penghujan.”

[Untuk melody, jam tujuh kumpul di tendanya masing-masing]

Tapi untunglah keadaannya tidak seperti di film (500) Days of Summer. Dia lebih memilih pergi sebelum semuanya lebih dekat, dan ini bagiku lebih mudah menjalankannya daripada berjalan jauh dan berujung pada satu titik kenyataan bahwa ada jenis perempuan yang bertype seperti Summer, perempuan yang beraroma musim kemarau. Memang tak bisa dipungkiri, semenjak dia “hilang”, minat menulisku tiba-tiba hancur. Motor penggerak itu baling-balingnya telah patah. Semangat membacaku hilang entah kemana. Ingin rasanya aku bakar buku-buku yang ada di rak kayu. Mereka tak bisa memberikan solusi kepada kondisi kehilanganku. Ini terdengar melankolik dan terasa berbau film India, tapi adakah manusia yang tidak pernah terpuruk?, even heroes have the right to bleed.

Padahal hari itu, hari sebelum aku tahu bahwa dia telah pergi dan tak meninggalkan jejak, aku sedang enak-enaknya mendengarkan lagu The Panasdalam, sebuah lagu romantic dari band absurd made in Bandung. Bahkan nama perempuan yang ada di lirik lagu tersebut aku ganti dengan namanya. Bung tentu tahu lagu “Nia”, bukan?, atau setidaknya pernah mendengar?. Nah, nama Nia aku ganti dengan namanya.

Dan hari ini sebaiknya lupakan saja semuanya. Cinta absurd dan invalid biar bersemayam di tempatnya yang telah ditentukan. Mari kita kembali kepada jalur, cerah ceria menelan hidup, bahwa yang datang dan yang pergi akan selalu bergantian, seperti kerja shift antara bulan dan matahari. Melankolic dan mendayu-dayu bukan mazhabku, melainkan jalan bagi mereka yang kelebihan stok air mata. Tak perlu repot lagi mencari bentuk dan identitas, lebih baik segera tuang saja kopi hitam dalam sachet itu ke dalam gelas, dan jangan lupa sebatang lagi biar terasa pas. Playlist tak usah diganti, biarkan saja Pidi terus bernyanyi. Aku tak boleh lagi khawatir seperti Mira yang merisaukan Erwin, tenang saja, semuanya masih dalam kendali.

Aku kirimkan aroma kopi dan asap cigarette untuk kawan-kawanku di Bandung, Sukabumi, Depok, Balikpapan, Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Tangerang. Jangan pedulikan lagi tanda panah yang akan membelokkan jalan. “Apa kabar pagi ini?, kurang ajar, segelas kopi diminum habis teman sendiri”, sudah lama juga tidak menjalankan hari-hari seperti itu. Masadepan selalu datang bagai Monster. Apa salahnya berjalan di atas peta sendiri?. Tempat pulang di dunia adalah bermanfaat bagi oranglain, menjadi lebah bukan untuk menyengat, tapi memberikan madu. Mari kita berlomba mengumpulkan bekal, sangat melelahkan kalau kita terus saling menghakimi. Pasti tidak akan berontak jika yang menegur tidak muntah dengan nada menembak.

[Jangan menunggu reff, tidak ada reff, langsung kembali]

Ada apa hari ini?. Ada Merapi yang belum berhenti muntah, ada anggota parlemen yang jalan-jalan ke Eropa. Headline tak pernah berganti dari kabar buruk, seperti meludah ke atas, air liur menghantam muka sendiri. Ada yang menaklukkan Kilimanjaro, mengucap Sumpah Pemuda di atap Afrika. “Kami bangsa Indonesia mengaku, berbahasa satu, Amerika!!”

[Roim, id anam ralu?, ralu id hawas]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun