Mohon tunggu...
Irfan Teguh Prima
Irfan Teguh Prima Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mewujudkan Negara Maritim : Evaluasi Pelaksanaan Asas Cabotage Dalam Industri Pelayaran Nasional Menghadapi AEC 2015

15 Maret 2014   06:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:55 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13948158981844472598

Industri pelayaran nasional sedang mengalami pertumbuhan yang pesat beberapa tahun belakangan. Setelah tidak memperoleh perhatian yang cukup dari pemerintah selama puluhan tahun belakangan, industri pelayaran nasional mulai mendapatkan angin segar. Dimulai dari tahun 2005, pemerintah mengeluarkan Inpres No.5 tahun 2005 tentang pemberdayaan industri pelayaran nasional.

Dalam instruksi presiden tersebut terdapat sebuah asas yang bertujuan melindungi industri pelayaran nasional. Asas tersebut dikenal dengan nama asas Cabotage. Asas tersebut menyatakan bahwa seluruh komoditi domestik atau angkutan melalui laut Indonesia harus dimuat oleh kapal nasional, kapal milik Indonesia, bukan kapal asing. Inpres tersebut kemudian direvisi bersama DPR menjadi UU No. 17/2008 tentang pelayaran. Implementasi cabotage merupakan hal yang penting dalam proses transformasi industri pelayaran nasional. Sebelum tahun 2005, bisnis pelayaran dan pengangkutan antar pulau berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Berdasarkandata dari Kementerian Perhubungan, jumlah armada kapal berbendera Indonesia pada tahun 2005 hanya 6.041 kapal dengan kapasitas angkut 5,67 juta GT (gross ton). Setelah 7 tahun implementasi asas cabotage, jumlah kapal niaga telah bertambah 7.203 unit atau tumbuh sebesar 119% dengan peningkatan kapasitas angkut mencapai 19,2 juta GT atau 238% dari tahun 2005[1].

Asas cabotage yang berlaku di Indonesia bersumber dari pemahaman bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri adalah bagian dari kekuatan strategis dalam mempertahankan kedaulatan negara. Dengan demikian pelaksanaan asas cabotage menyangkut juga pada masalah ekonomi dan kedaulatan negara. Selama ini mayoritas pengangkutan di Indonesia didominasi oleh kapal asing, hal tersebut dikarenakan ketidakpercayaan pengusaha untuk menggunakan kapal berbendera nasional dalam mengirimkan barangnya. Kapal berbendera nasional diasosiasikan dengan kapal-kapal yang sudah tua dan bermesin kuno. Tetapi, seperti yang dapat kita lihat bahwa semenjak pemberlakuan asas tersebut industri pelayaran nasional mulai mengejar ketertinggalannya.

Gambar 1: Kapal niaga Indonesia-KM Tanto Permai[2]

Secara geografis, Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang didominasi oleh lautan. Dari 11 negara ASEAN, hanya 1 negara yang tidak memiliki perbatasan langsung dengan lautan yakni Laos. Hal tersebut memperjelas seberapa strategis keberadaan armada laut yang mumpuni di Asia Tenggara ini. Asean Economic Community yang akan kita hadapi bersama mulai tahun depan sendiri memiliki tiga pilar utama yang salah satunya adalah “For making ASEAN as a single market and production base”. Dalam pilar tersebut terdapat arus bebas barang dan jasa, tenaga kerja, modal, dan lainnya. ASEAN sendiri sebagai sebuah zona perekonomian yang meliputi 600 juta jiwa di dalamnya dapat menjadi peluang atau malah menjadi buah simalakama bagi industri pelayaran nasional.

Sedari kecil kita mungkin sudah akrab dengan bait lagu berikut “Nenek moyangku seorang pelaut”. Jati diri sebagai sebuah bangsa maritim memang sudah ada dalam darah daging bangsa Indonesia. Penjajahan oleh berbagai bangsa selama ratusan tahun telah menjadikan “naluri” pelaut kita terkubur dalam. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kebanyakan merupakan kebijakan dengan orientasi kontinen, atau daratan.Penduduk di pesisir Indonesia yang berjumlah 161 juta orang[3] justru dibiarkan berjuang sendiri. Menurut SMERU Institute, jumlah penduduk miskin di kawasan pesisir Indonesia mencapai 32,14% pada tahun 2008.

Sekarang mari kita kembali lagi ke penerapan asas cabotage dalam menghadapi AEC 2015. Berdasarkan publikasi-publikasi yang telah diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan, memang dari segi jumlah maupun bobot kapal telah terjadi peningkatan peranan industri nasional dalam bisnis pelayaran. Namun, apakah implementasi tersebut sudah cukup dalam mempersiapkan Indonesia di AEC nanti? Sayangnya, jawabannya belum cukup.

Biaya transportasi buah Jeruk dari kota Pontianak di Kalimantan ke Jakarta masih jauh lebih mahal daripada impor buah Jeruk dari Shanghai ke Jakarta. Padahal, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono telah mengklaim bahwa penerapan asas cabotage mampu menurunkan biaya transportasi sampai 50 persen[4].Hal yang bertolak belakang tersebut menunjukkan bahwa industri pelayaran nasional belum mampu mencapai titik efisiennya. Penerapan asas cabotage selama 9 tahun belakangan hanya mampu mengganti bendera yang ada di kapal, tanpa ada peningkatan kapasitas dan juga kualitas kapal.

Terdapat beberapa permasalahan dalam penerapan asas cabotage ini. Pertama adalah asas ini hanya memberdayakan pengusaha kapal nasional yang sudah kuat secara permodalan. Cepatnya pertumbuhan tersebut hanya berasal dari beberapa perusahaan saja.Lalu, asas cabotage yang melarang kehadiran kapal asing justru hanya memperkuat daya tawar pengusaha pelayaran tertentu terhadap perbankan, asuransi, dan pemerintah. Efisiensi biaya tidak terjadi karena tidak ada insentif yang cukup bagi perusahaan tersebut untuk menurunkan harga, selain itu juga tidak ada persaingan yang cukup untuk mendorong efisiensi dalam industri. Terakhir, peranan pengusaha pelayaran rakyat juga tidak banyak meningkat semenjak pelaksanaan cabotage ini. Angkatan pelayaran rakyat pada tahun 2008 berjumlah 1.287 unit dengan kapasitas 150.000 GT, dan pada 2012 hanya meningkat menjadi 1.329 kapal dengan kapasitas 166.000 GT (Kemenhub, 2012).

Selain permasalahan diatas, industri galangan kapal di Indonesia juga masih berada pada posisi yang lemah. Meskipun berbendera Indonesia, kapal tersebut bisa saja merupakan kapal pinjaman dari operator asing. Masalah diatas diperparah dengan kapasitas infrastruktur pelabuhan Indonesia yang masih tidak sebanding dengan kebutuhannya. Aktivitas ekspor-impor Indonesia dengan tonase besar kebanyakan harus melalui Singapura atau Penang, Malaysia karena kapal berukuran besar tidak bisa memasuki Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal keberadaan pelabuhan yang mumpuni mampu mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dengan menurunkan biaya transportasi serta waktu tunggu (dwelling time) di pelabuhan. Jika tidak ada perubahan berarti dalam struktur industri nasional maka niscaya Indonesia akan diserbu industri pelayaran asing. Hal tersebut karena industri nasional tidak memiliki keunggulan komparatif, selama ini mereka hanya bergantung pada pemberlakukan asas cabotage yang lebih bersifat proteksi daripada membangun kapasitas industri dalam negeri.

Pelaksanaan asas cabotage seharusnya mampu menaikkan peran industri pelayaran nasional dalam merebut pasar pengangkutan barang antar negara ASEAN nantinya. Dengan potensi perekonomian mencapai 3,36 Trilliun Dollar AS pada tahun 2012, seharusnya menjadi pemacu peningkatan jumlah kapal dan kapasitas angkut yang jauh lebih cepat. Pelaksanaan asas ini juga belum menyeluruh, karena dalam pelayaran rakyat ataupun pelayaran perintis belum mengalami perubahan berarti. Belum menyeluruh dalam lingkup wilayah serta impelementasi peraturan, karena belakangan pemerintah melonggarkan peraturan khusus pada kapal-kapal penunjang kegiatan offshore. Pemerintah masih belum mampu memicu masuknya perusahaan kapal nasional masuk ke industri ini sehingga Kemenhub membolehkan kapal asing beroperasi dalam kegiatan ini.

Asas cabotage sejatinya mampu meningkatkan posisi tawar industri perkapalan dalam negeri. Seharusnya industri galangan kapal nasional juga bisa tumbuh karena naiknya permintaan atas kapal. Kenaikan permintaan kapal ke galangan kapal nasional memicu peningkatan permintaan tenaga kerja dalam negeri yang kemudian memacu pertumbuhan ekonomi. Jika setiap pelayaran di Indonesia dapat dilayani oleh kapal Indonesia, baik itu antar pelabuhan besar maupun pelayaran perintis, maka berapa besar nilai tambah yang bisa didapat jutaan penduduk yang berkecimpung di industri kelautan nasional. Jangan sampai jargon Indonesia sebagai negara maritim hanya menjadi bualan belaka. Kita harus menyongsong AEC 2015 dengan kemampuan armada maritim nasional yang jauh lebih mumpuni sehingga tidak hanya lautan Indonesia saja yang dilayari kapal berbendera Indonesia, tetapi juga lautan di seluruh Asia Tenggara.


Kalau suatu negara seperti Amerika mau menguasai samudra dan dunia, dia mesti rebut Indonesia lebih dahulu buat sendi kekuasaan” (Pendahuluan - Melihat ke muka hal. 35-36)
Tan Malaka, Madilog

[1] Selama Asas Cabotage, Populasi Kapal Nasional Meningkat 119%. http://www.insa.or.id/en/news/d/selama-asas-cabotage-populasi-kapal-nasional-meningkat-119

[2] http://www.insa.or.id/uploads/slideshow/29_c_slide_20131119-225017_kapal_untuk_online.jpg.jpg

[3] Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, http://www.kehati.or.id/id/ekosistem-pesisir-dan-pulau-pulau.html

[4] Asas Cabotage berlaku 98%. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fffc9bf54757/asas-icabotage-i-efektif-98-persen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun