Mohon tunggu...
Irfan Teguh Prima
Irfan Teguh Prima Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Pembelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Fenomena Inflasi Ramadan di Nusantara: Alami atau Artifisial

3 Juli 2014   21:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:37 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadan selalu disambut dengan sukacita di seantero Nusantara. Tidak hanya sekadar menjalankan kewajiban, rutinitas dan semangat yang dibawa oleh kedatangan bulan suci umat Islam ini sudah menjadi budaya tersendiri yang tidak bisa dipisahkan dari negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tidak hanya umat muslim yang menyambut berkah bulan Ramadan, tetapi umat agama lainnya juga merasakan pengaruhnya. Kegiatan keagamaan ditingkatkan, toleransi antar umat yang menyejukkan hati bisa terlihat, dan tentu pula aktivitas perekonomian masyarakat yang terpacu di bulan ini.

Persiapan menyambut bulan suci dilakukan oleh semua kalangan masyarakat, mulai dari persiapan kegiatan peribadatan, persiapan bahan konsumsi selama bulan Ramadan, dan juga persiapan pakaian dan barang lainnya. Bulan Ramadan yang juga dijuluki sebagai bulan penuh berkah memang telah bermetamorfosis menjadi bulan yang menyediakan lebih banyak kesempatan bagi orang-orang dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Ratusan juta pemeluk agama islam kini memerlukan berbagai ragam kebutuhan dalam menjalankan ritual berpuasanya. Dalam bulan menahan nafsu, lapar, dan dahaga ini fenomena yang tejadi adalah terjadi lonjakan konsumsi oleh masyarakat luas.

Fenomena inflasi yang cukup tinggi atau naiknya harga barang-barang pokok secara umum hampir selalu kita alami ketika bulan Ramadan tiba. Berdasarkan data historis beberapa tahun belakangan, umumnya ketika bulan Ramadan, indeks harga konsumen (IHK) akan mengalami peningkatan rata-rata 0.56% (BI, 2014). Untuk bulan Ramadan tahun ini saja diperkirakan oleh Profesor Ahmad Erani Yustika dari Indef akan terjadi inflasi bulanan sebesar 0,4% (Tempo, 2014), sedikit lebih rendah dari rata-rata. Meningkatnya permintaan masyarakat dan penawaran barang yang tidak mencukupi permintaan yang ada digadang-gadang menjadi sumber masalah naiknya harga barang-barang yang dialami di pasar. Lalu, apakah dalam kenyataannya sumber masalah hanya berasal dari ketidakcocokan antara demand dan supply barang-barang pokok?

Gambar 1: Pedagang di pasar

Jika kita menilik lebih lanjut akar permasalahan terjadinya kenaikan harga barang-barang ketika bulan Ramadan tidak hanya bersumber dari mismatch permintaan-penawaran yang sudah disebutkan di atas. Menurut hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi, kenaikan harga yang terjadi pada barang atau jasa akibat meningkatnya permintaan seharusnya dapat langsung direspons oleh produsen dengan meningkatkan produksinya yang berarti meningkatkan penawaran dan pada akhirnya mengembalikan harga ke tingkat semula. Lantas apakah hukum ekonomi di atas berlaku dalam dunia nyata, terutama ketika bulan Ramadan? Realitasnya adalah hukum tersebut tidak berlaku sepenuhnya. Barang-barang kebutuhan pokok, terutama sembako, lauk-pauk, sayur-mayur dan lainnya merupakan barang yang memerlukan jeda waktu yang tidak sebentar dalam memproduksinya, lebih dari satu bulan. Kenaikan harga yang terjadi di tengah masyarakat tidak serta merta dapat membuat petani memanen beras, cabai, bawang, dalam jumlah besar, dan tidak serta merta pula membuat peternak bisa memasok daging dalam jumlah sesuai kebutuhan pasar. Dalam ilmu ekonomi dikenal teori Cobweb atau jaring laba-laba yang menjelaskan bahwa produk pertanian dan peternakan umumnya mengalami lag dalam merespons perubahan harga. Tidak heran jika peningkatan permintaan tidak bisa dibarengi dengan supply barang yang lebih banyak.

14043739421951072127
14043739421951072127
Gambar 2: Cobweb Theory

Namun, apakah produsen tidak dapat mempersiapkan diri untuk memproduksi lebih banyak barang ketika bulan Ramadan tiba, karena seharusnya datangnya bulan puasa sudah bisa diprediksi? Jawaban terhadap hal ini bisa bermacam-macam. Selain karena produksi barang pokok bergantung pada musim, kita juga harus memahami bahwa terdapat aksi ambil-untung dari para produsen dengan menahan supply barangnya agar harga tidak turun, produsen barang pokok seolah-olah bertindak sebagai produsen dalam persaingan tidak sempurna (imperfect market) seperti monopolis dan oligopolis. Kita mengenal aksi ini dengan nama spekulasi -pendapat atau dugaan yang tidak berdasarkan kenyataan; tindakan yg bersifat untung-untungan-. Tidak bisa dipungkiri bahwa bulan Ramadan merupakan kesempatan yang baik bagi pedagang, dan terkadang petani, untuk menyimpan persediaan barangnya dan menjual saat harga sudah sangat tinggi. Hal ini kemudian tidak menjadi masalah karena ternyata konsumen tetap mampu membeli barang yang ada di pasar, dengan sedikit mengeluh tentunya.

Dari pengamatan penulis di keluarga penulis ataupun ketika ke pasar dan pusat perbelanjaan saat Ramadan, nafsu untuk berbelanja dari rakyat Indonesia memang sudah pada level yang berlebihan. Saya tidak akan membahas banyak mengenai nafsu berbelanja yang mengarah pada perilaku mubazir, akan tetapi menarik untuk diketahui bahwa konsumen merupakan pihak yang akan membeli barang selama willingness to pay atau kesediaan membayarnya masih sebanding dengan kepuasan yang akan didapatkannya dari mengonsumsi barang itu. Pada bulan Ramadan ini kesediaan membayar tidak hanya diukur dari kebutuhan yang sebenarnya, tetapi juga ada faktor lainnya yang pada realitasnya membuat masyarakat rela berbelanja lebih banyak dan membayar lebih besar. Hal ini didorong oleh meningkatnya perputaran uang ketika bulan Ramadan akibat pemberian THR (Tunjangan Hari Raya) terhadap pekerja di seluruh Indonesia yang menurut Bank Indonesia kebutuhan uang tunai saat lebaran mencapai Rp118,5 triliun, jumlah yang tidak sedikit. Memakai teori kuantitas uang yang dipopulerkan oleh David Ricardo dan Irving Fisher yang menyimpulkan bahwa peningkatan jumlah uang beredar akan menyebabkan kenaikan tingkat harga atau kita kenal sebagai inflasi.

Selain beberapa hal di atas, penyebab terjadinya inflasi saat bulan Ramadan yang cukup penting lainnya adalah lemahnya infrastruktur logistik Indonesia yang menyebabkan biaya logistik mencapai 27% dari PDB Indonesia (PPLRP ITB, 2013). Di negara lain yang memiliki infrastruktur pendukung laju barang dengan kondisi yang baik, biaya logistiknya jauh lebih rendah daripada Indonesia. Negara tersebut seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan. Infrastruktur yang jelek yang mengakibatkan tingginya biaya transportasi barang cukup menjelaskan mengapa harga barang-barang menjadi mahal, dan ditambah pula dengan kondisi bulan Ramadan yang identik dengan terjadinya kenaikan permintaan.

1404374040529651055
1404374040529651055
Gambar 3: Komparasi biaya logistik antarnegara

Dari uraian di atas penulis mencoba menjabarkan sedikit faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang pada bulan Ramadan tidak dapat terhindarkan lagi. Apakah kemudian inflasi merupakan hal yang buruk sehingga harus ditekan sebisa mungkin? Walaupun dalam jangka pendek inflasi menyebabkan daya beli masyarakat turun tidak menyebabkan keberadaannya harus ditekan habis-habisan. Inflasi sendiri sebenarnya memiliki dampak positif yaitu kenaikan harga dapat menjadi pendorong bagi produsen untuk meningkatkan produksinya yang pada akhirnya bisa meningkatkan produksi secara agregat yang kita kenal sebagai pertumbuhan ekonomi. Inflasi harus dijaga dalam tingkat yang moderat dan single digit sehingga bisa merangsang peningkatan produksi dan di lain pihak tidak membuat masyarakat tidak mampu lagi membeli bahan kebutuhan pokoknya.

Fenomena inflasi pada bulan Ramadan sejatinya merupakan fenomena yang bisa dibilang alami karena memang terjadi kenaikan permintaan yang tidak bisa dibarengi dengan peningkatan penawaran barang oleh produsen. Akan tetapi, tingginya inflasi pada bulan Ramadan sebagian besar merupakan akibat lemahnya sistem logistik dan infrastruktur serta aksi spekulasi oleh produsen yang artifisial atau dibuat-buat. Inflasi harus dikontrol agar tidak hanya menguntungkan sebagian pihak saat pihak lainnya menanggung kerugian akibat harga yang terdistorsi. Penanggulangan inflasi harus dilaksanakan bersama-sama oleh pemerintah sebagai pengaman pasokan barang, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter penjaga kestabilan nilai rupiah, masyarakat sebagai konsumen dengan menjaga level konsumsinya pada tingkatan yang tidak berlebihan, pedagang sebagai distributor dengan tidak menimbun barang dan berspekulasi, serta produsen dengan mempersiapkan produksi barang sesuai kebutuhan. Tentunya kebijakan yang harus dilakukan perlu dielaborasi lebih lanjut.             

http://www.infobanknews.com/2014/07/bi-inflasi-jelang-ramadhan-tetap-terkendali/

http://mountdweller.blogspot.com/2013/12/kerana-binatang-berkeliaran-bersama.html

http://commons.wikimedia.org/wiki/File:Cobweb_theory.png

http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/06/26/kebutuhan-uang-tunai-saat-lebaran-capai-rp-1185-triliun

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun