Pada awalnya manusia hanya terkesima melihat api. Kemudian manusia mencoba untuk menciptakan api yang lebih besar. Manusia melingkari api, bercakap dan bersuka ria. Ada bahasa memandu bahasan tentang siapa yang menciptakan alam semesta ini. Ini lah kisah pilu seorang nomaden yang selalu lari dari jebakan bencana alam semesta.
Memahami manusia sebagai pusat semesta merupakan gagasan dari antroposentris. Tapi pemahaman itu menjadikan manusia tamak dan menunjukan sifatnya yang ingin menjadi paling berkuasa dan paling agung diantara mahkluk hidup lainnya. Selain antroposentris, pernah terjadi gesekan antara kebenaran dan agama pada abad pertengahan. Suatu ketika, Kopernikus memiliki gagasan bahwa bumi bukanlah merupakan pusat semesta. Gagasan tersebut diperkuat oleh seorang astronom asal Italia, Galileo. Galileo menyebutkan bahwa matahari adalah pusat semesta dan menyebarkan ajaran tersebut. Kemudian Gereja Katolik memutuskan bahwa Galileo sebagai orang yang menyebarkan bidah.
Pada masa tersebut, agama adalah satu-satunya sumber hukum dan ilmu pengetahuan yang jelas. Beberapa ratus tahun setelahnya, barulah dominasi gereja berkurang karena semangat pencerahan oleh ilmu pengetahuan. Dengan diktum dari Rene Descartes, dengan Cogito Ergo Sum artinya aku berpikir maka aku ada. Ternyata, aku ini ada sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat. Disusulah revolusi industri yang membawa perubahan dari tenaga manusia menjadi tenaga uap.
Revolusi industri sendiri telah mengalami perubahan secara signifikan. Mulai dari manusia ke mesin, dari mesin ke komputer, dari komputer ke internet, dari internet semua bisa terhubung. Perubahan tersebut membawa dampak besar bagi modernisme dan manusia.
Prinsip dari modernisme adalah memudahkan yang sulit untuk kesejahteraan manusia. Tujuan dan prinsipnya masih tertuju pada kepentingan manusia. Sehingga seringkali kemajuan tidak dibarengi dengan analisis terhadap dampak lingkungan dan diri manusia.
Selain modernisme, sistem ekonomi dengan mencari untung sebanyak-banyaknya dengan modal sedikit, yaitu kapitalisme. Menciptakan masyarakat yang beragam status, pendapatan dan daya beli. Pasar selalu bisa diciptakan, masyarakat yang memiliki daya beli kecil dapat digiring untuk bisa membeli produk. Jadilah sebuah masyarakat yang oleh Jean Baudrilard dikatakan sebagai Masyarakat Konsumsi.
Dengan sumber daya alam yang dieksploitasi untuk kepentingan manusia dan tingkat konsumsi manusia tinggi. Manusia menemukan teknologi baru yang bernama plastik. Untuk membungkus, mengemas dan menjadikan semua hal jadi lebih mudah dibawa. Namun, kecerdasan manusia tidak mampu untuk membendung dampak dari sampah plastik yang tidak bisa terurai.
Kembali pada zaman batu, manusia memakan kerang dan membuang kerang sembarangan sehingga menjadi gunung. Gunung tersebut bisa mencapai tinggi lebih dari lima meter. Gunung itu dinamakan dengan istilah Kjokkenmoddinger.
Zaman kiwari, di Indonesia, satu gambaran jelas ada di daerah Bantar Gebang. Kjokkenmoddinger ini terbuat dari sampah manusia yang kebanyakan berbahan plastik. Itu hanyalah gambaran sampah di satu wilayah dan satu negara. Apalagi kalau kita kalkulasikan semua sampah plastik di semua negara.
Bukan hanya penumpukan sampah plastik. Manusia juga membakar hutan untuk membuka lahan pertanian dan perternakan. Sebelumnya, manusia selalu berpindah-pindah untuk menjalankan sistem pertanian. Pada zaman Revolusi Agrikultur prinsip hidup nomaden menjadi melekat dengan manusia. Berperang untuk memperebutkan wilayah lalu menjadikan yang kalah sebagai budak. Era tersebut, manusia mulai mengakumulasikan kekayaan. Menciptakan kerajaan sampai negara otoriter.
Sampai hari ini, manusia tidak menyadari sebagian kekayaan umat manusia dikuasai oleh 1% penduduk dunia. Manusia menganggap bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab untuk menguasai alam semesta. Sampai tiba pada kepastian bahwa bumi akan hancur, manusia memimpikan planet lain untuk dihuninya. Menghindari dari malapetaka besar. Planet yang diprediksi bisa dihuni oleh manusia adalah Mars.