Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kebebasan Mengenal Tuhan

31 Agustus 2019   22:38 Diperbarui: 31 Agustus 2019   23:07 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernyataan bahwa tuhan telah mati menimbulkan banyak pergunjingan disegala bidang. Ada yang menggunjingnya dengan metode agama, filsafat, ilmu sosial dan lainnya. Bahkan banyak yang menjadikan pernyataan tersebut sebagai slogan orang-orang Ateis yang tidak bisa meyakini keberadaan Tuhan. Pernyataan tersebut ditulis oleh Nietzsche dalam bukunya yang berjudul Zarathustra.

Hal yang wajar jika kita sempat menanyakan dimana Tuhan. Ada yang berkata bahwa Tuhan ada bersama denyut nadi dan ada juga yang mengatakan Tuhan bersemayam di arsy. Namun ada arogansi mengenai perspektif tentang Tuhan dikalangan orang-orang yang menyatakan dirinya adalah seorang manusia yang bebas dan berkehendak secara naluri alami manusia.

Bagi mereka bersyukur adalah suatu sugesti untuk meredam rasa kecewa atau rasa senang berlebihan. Dalam pandangan libertarian manusia bebas melakukan apa yang mereka suka. Termasuk dalam memandang Tuhan, mereka bisa mengadakan Tuhan dan meniadakan Tuhan.

Keadaan bebas seperti ini yang membuat manusia menjadi makhluk paling sempurna diantara makhluk lainnya. Karena binatang, tumbuhan dan lainnya bisa hidup dan mati tergantung perbuatan manusia. Adanya Tuhan adalah untuk membatasi keadaan bebas itu.

Kebanyakan orang memilih beragama adalah untuk membatasi betapa liarnya dia sebagai manusia. Sebab manusia sebagai mikro kosmos mampu melampaui kesepakatan yang telah disepakati sebagai kehidupannya di dunia.

Namun dengan Tuhan, manusia hanyalah ketakutan-ketakutan yang digambarkan akan menuju suatu tempat pembalasan. Oleh karena itu mereka manusia yang tidak punya kekuatan untuk melawan berserah diri kepada Tuhan agar dibalas dengan ganjaran yang setimpal. Pada akhirnya Tuhan menjadi tameng dan tempat untuk berharap.

Namun sesungguhnya manusia tidaklah benar-benar takut terhadap Tuhan. Manusia lebih takut kepada neraka dari pada sang pencipta. Dan manusia lebih berharap masuk surga ketimbang bersama Tuhannya.

Adupun yang berjuang untuk agamanya adalah untuk kepentingan di dunia membentuk negara yang sesuai dengan apa yang ia tafsirkan dan manifestonya adalah bentuk arogansi dari sebuah pemikiran pragmatis. Karena aturan agama bersifat pragmatik.

Menemukan Tuhan tidak bisa berada dalam lingkungan yang bebas, menemukan Tuhan harus menggali dunia diri sampai masuk ke alam dimana kesadaran akan kebebasan itu adalah kebaikan dan menjaga diri sampai akhir hayat.

Konsepsi bahwa Tuhan adalah maha segala-galanya jadi bisa saja Tuhan bengis dan menjadi yang paling bengis. Manusia harusnya memanfaatkan kebengisan Tuhan untuk takut dan selalu tunduk kepada Dia.

Keterbatasan manusia untuk mencapai sesuatu yang tertinggi memang dibutuhkan beberapa lompatan bukan dalam sekali melompat. Mengolah Nietzsche lewat sudut pandangnya mengenai realitas tertinggi kadang-kadang membuat saya berpikir dan berspekulasi bahwa Tuhan itu ada dalam diri kita sendiri lalu kita bisa menghadirkannya kapanpun kita mau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun