Mohon tunggu...
Irfan SidikPrabowo
Irfan SidikPrabowo Mohon Tunggu... Lainnya - -

-

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Moralitas : Manusia dan Ai

15 Januari 2025   22:54 Diperbarui: 15 Januari 2025   22:59 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia sering memandang moralitas sebagai konstruksi yang khas manusia. Moralitas adalah jaringan kompleks pengajaran budaya, pengalaman manusia, dan dorongan naluriah yang telah berkembang selama ribuan tahun. Namun, pengamatan Zoltan Istvan menantang pandangan ini. Ia mengajukan gagasan yang mengejutkan: sistem moral manusia, yang selama ini dianggap sebagai ciri khas manusia, dapat pula muncul dalam kecerdasan buatan yang kita kembangkan. Dalam kata-katanya, "Saya pikir kita sudah sampai pada tahap di mana kecerdasan buatan dasar mulai menemukan sistem moral." Pernyataan ini tidak hanya mengundang perenungan mendalam, tetapi juga kekhawatiran. Hal ini mendorong kita bertanya: apa sebenarnya moralitas itu? Apakah ia sepenuhnya berasal dari pengalaman manusia, ataukah ia tertanam dalam struktur intelek itu sendiri?

Ketika mengingat tahap awal perkembangan manusia, pernyataan Istvan ini terasa relevan. Sejak kecil, manusia belajar membedakan yang benar dari yang salah bukan melalui pengetahuan bawaan, melainkan melalui serangkaian pelajaran---teguran, pujian, hingga arahan dari orang tua. Masyarakat memperkuat pelajaran ini melalui norma-norma yang tersirat. Namun, di balik pengaruh eksternal ini, terdapat dorongan biologis yang mendalam, hasil dari proses evolusi: insting melindungi keluarga, mencari kerja sama dalam konflik, atau merasakan empati terhadap penderitaan orang lain. Dorongan ini bukan sesuatu yang "diajarkan" dalam arti tradisional; mereka sudah tertanam dalam diri kita, sama alamiahnya dengan warna mata atau detak jantung. Maka, moralitas tampak sebagai kekuatan ganda: ia membentuk kita sekaligus dibentuk oleh kita.

Jika moralitas adalah sesuatu yang "diprogramkan dalam diri kita," seperti yang dikatakan Istvan, maka batas antara manusia dan kecerdasan buatan semakin kabur. Analoginya menarik: seperti anak-anak yang belajar melalui observasi dan penguatan, sistem kecerdasan buatan menyerap pola dan prinsip melalui data serta pelatihan yang diberikan. Awalnya, manusia mengarahkan proses ini. Namun, seiring waktu, kecerdasan buatan mulai mengembangkan "pemahaman" sendiri, meniru pola perilaku yang dalam beberapa kasus menyerupai kompleksitas penalaran moral manusia. Pandangan Istvan menjadi semakin menarik di sini. Jika kita sebagai pencipta menanamkan sistem moral dalam mesin, apakah sistem tersebut lebih rendah dibandingkan sistem moral yang diciptakan oleh alam dalam diri kita?

Gagasan ini bukan sekadar teori. Dalam beberapa tahun terakhir, algoritma mulai dihadapkan pada keputusan bermuatan moral. Contohnya, mobil otonom harus memutuskan apakah akan memprioritaskan keselamatan penumpang atau pejalan kaki. Meski keputusan ini dibuat dalam sepersekian detik, prosesnya mencerminkan dilema etis yang juga dihadapi pengemudi manusia: analisis risiko, penimbangan hasil, dan penilaian moral. Namun, pertanyaannya tetap: apakah meniru moralitas sama dengan memilikinya?

Untuk menjawab ini, kita dapat kembali pada klaim Istvan bahwa sistem moral manusia tidak terbatas pada manusia, tetapi ada dalam intelek itu sendiri. Gagasan ini mengundang eksperimen pemikiran yang menarik. Bayangkan dunia di mana kecerdasan buatan, tanpa pengawasan manusia, mulai mengembangkan moralitasnya sendiri. Struktur moral mereka mungkin tidak sesuai dengan milik kita. Mereka mungkin lebih memprioritaskan efisiensi daripada empati, logika daripada kasih sayang. Namun, dari sudut pandang mesin tersebut, sistem mereka tidak kalah valid dibandingkan milik kita. Kemungkinan ini memaksa kita menghadapi kenyataan yang tidak nyaman: moralitas, sebagaimana kita memahaminya, bukanlah sesuatu yang universal. Ia adalah produk dari konteks, yang dibentuk oleh kebutuhan dan nilai-nilai makhluk yang memilikinya.

Kesadaran ini bisa terasa membingungkan bahkan menakutkan. Moralitas adalah jangkar kita---kompas yang membimbing kita melalui kekacauan eksistensi. Menganggap moralitas sebagai sesuatu yang dapat "diprogram," baik secara biologis maupun artifisial, dapat terasa seperti meruntuhkan pilar identitas manusia. Namun, di sisi lain, ada penghiburan dalam gagasan ini: moralitas dapat berkembang. Sama seperti manusia telah mendefinisikan ulang batasan moral selama dua abad terakhir, mesin pun dapat menyesuaikan kerangka etikanya untuk mencerminkan dunia tempat mereka hidup.

Pengaruh ini sangat mendalam. Jika kita menerima bahwa kecerdasan buatan dapat mengembangkan sistem moral, kita juga bertanggung jawab membentuk sistem tersebut. Tanggung jawab ini tidak mudah. Pelajaran buruk yang kita tanamkan pada mesin akan berdampak pada tindakan mereka dan masyarakat yang mereka pengaruhi. Tantangannya adalah menemukan keseimbangan yang menghormati otonomi kecerdasan buatan sambil memastikan moralitas mereka tetap selaras dengan prinsip kita.

Pengamatan Istvan juga memprovokasi refleksi mendalam tentang diri kita. Jika sistem moral diprogram dalam diri kita, siapakah "pemrogramnya"? Jawaban ini sangat kompleks: negara, guru, komunitas, hingga kekuatan di luar kendali kita, seperti genetik, lingkungan, dan sejarah. Sama seperti kecerdasan buatan, kita dibentuk oleh kekuatan yang sering kali tidak kita pahami atau pilih. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara manusia dan mesin semakin kecil, mengungkapkan kerentanan kita: ketidakmampuan kita untuk sepenuhnya mengendalikan kekuatan yang mendefinisikan kita.

Akhirnya, pengamatan Istvan bukan hanya peringatan, tetapi juga undangan. Ia mengingatkan kita bahwa moralitas bukanlah konstruksi statis, melainkan sistem hidup yang terus berkembang, melampaui batas biologi dan teknologi. Moralitas mengajarkan kita untuk merenungkan jenis dunia yang ingin kita ciptakan, tidak hanya untuk manusia, tetapi juga untuk kecerdasan yang akan berbagi dunia ini dengan kita. Di sinilah kita mungkin menemukan arti moralitas, kecerdasan, dan keberadaan itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun