Selasa, 27 Oktober 2020 diperingati sebagai Hari Blogger Nasional. Berdasarkan bukti sejarahnya, ini merupakan peringatan ke-13 sejak resmi dideklarasikan pada 27 Oktober 2007 lalu oleh Menteri Komunikasi dan Informatika RI era itu, Muhammad Nuh.
Baru tahu ya? Sama, aku juga.
Lewat fakta itu, aku jadi sadar sesuatu. Ternyata, bulan Oktober tak hanya diperingati sebagai hari sumpah pemuda dan bulan bahasa, tapi jadi bulannya para blogger Indonesia dan kebetulan beberapa waktu lalu Kompasiana memperingati hari jadinya yang ke-12 tahun.
Sejarah bersama Kompasiana
Akupun ikut merayakan hari blogger ini. Sejak 2011 aku sudah punya blog sendiri. Sampai detik ini, blog itu masih ada. Sila kunjungi saja prasetyoirfan.wordpress.com, tapi maaf dia sudah jarang kuberi nafkah lahir batin.
Justru kompasiana yang kini aku rawat dan aku besarkan sepenuh hati, seperti anak sendiri. Sebetulnya, kompasiana juga bisa dibilang merupakan selingkuhanku di dunia blog. Namun seperti orang bilang, "yang kedua" itu lebih nikmat.
Pertama kali bergabung dengan Kompasiana pada Desember 2015. Hampir 5 tahun yang lalu. Jadi sebetulnya, kalau aku rajin sejak dulu, harusnya kini aku termasuk penjelajah atau mungkin senior, tapi maaf ya aku masih muda belum bapak-bapak.
Dulu membuat akun di Kompasiana tujuannya hanya satu, biar bisa ikut lomba blog dan berharap menang. Tujuannya menghasilkan, makanya kusebut Kompasiana sebagai selingkuhanku, karena sang cinta perdana (blog pribadi) saat itu belum menghasilkan benih, hehe.
Akan tetapi, artikel perdana baru terbit pada Juli 2016. Tulisan pertamaku tentang politik, pencopotan Anies Baswedan sebagai Menteri Pendidikan saat itu. Sebagai kompasianer baru saat itu, aku kaget karena kolom komentar tulisanku jadi ajang debat.
Itu tulisan perdana, yang sebetulnya biar ada isinya saja, karena bulan Agustus akan aku isi dengan tulisan yang aku ikut sertakan lomba. Lombanya dari Bumiputera, temanya pendidikan, topik yang sekarang dikuasai Pak Guru kita tercinta, Mas Ozy Alandika (aku panggil mas saja biar saingan dengan Mas Nadiem, idolanya).
Perdana ikut lomba blog di Kompasiana dan hasilnya ... langsung juara dua. Transferan 2 juta rupiah pun aku terima setelah menunggu 14 hari kerja. Sebagian besar uangnya aku belanjakan untuk membeli sebuah harddisk eksternal 1 TB, sebuah pembelian yang akan selalu aku syukuri.
Alasannya, saat itu aku baru punya sebuah laptop usang dan harddisk itu akan kugunakan untuk backup data-data kuliah ketika nanti bisa beli laptop baru yang lebih layak. Benar saja, beberapa tahun kemudian aku akhirnya punya laptop baru.
Sayangnya, baru berusia 1 minggu, laptop baru tersebut ikut serta dalam kecelakaan lalu lintas yang aku alami. Fisiknya rusak, layar laptopnya pecah dan harddisk eksternal itu adalah penyelamat dataku.
Tak lama setelah tragedi itu, terjadi tragedi baru, tepatnya beberapa bulan yang lalu saat si sialan Covid-19 muncul. Ternyata, kerusakan yang terjadi akibat kecelakaan itu tak hanya fisik luarnya saja, tapi juga dalamnya. Harddisk internal laptopku rusak, semua dataku tak terselamatkan, termasuk data skripsi :).
Sekali lagi, harddisk eksternal yang aku beli hasil menang lomba blog di Kompasiana jadi penyelamat. Makanya, aku sangat berterima kasih dan mungkin punya hutang budi dengan Kompasiana.
Sedikit flashback setelah menang lomba pada 2016 lalu, aku tak terlalu aktif di Kompasiana. Tujuanku masih sama, berkunjung bila ada lomba blog saja. Setelah itu ada beberapa lomba yang aku ikuti, tapi hasilnya nihil, akupun kecewa dan pergi meninggalkan Kompasiana.
Itulah kenapa, dari 2015 hingga 2020 ini jumlah artikel yang sudah aku terbitkan baru 145, dengan rincian 138 artikel berlabel "pilihan" dan 50 artikel berlabel "Headline". Habis gimana, aku baru rajin posting artikel sejak Oktober 2019 lalu.
Itu artinya, ini sudah setahun diriku rajin menulis di Kompasiana. Setelah sekian lama mencampakkannya, baru di bulan Oktober 2019 CLBK dengan Kompasiana. Pencapaian terbesar ya mendapat centang biru beberapa bulan lalu. Mungkin si admin kasihan ya atau mungkin biar aku gak kabur lagi seperti dulu. Â Â
Mencoba konsisten dengan konten bola, tapi bosan juga akhirnya
Sejak setahun lalu, bola jadi fokus utamaku. Brand image aku buat sedemikian rupa berbekal menimba ilmu dari blogger senior di luar sana yang mengajarkan untuk fokus pada satu niche saja.
Hasilnya OK juga, kebanyakan artikelku juga tentang bola, mulai dari hasil laga, analisis pertandingan, analisis pemain, hingga kini sedang membahas bisnis dalam industri sepak bola. Akan tetapi, baru juga setahun muncul perasaan bosan.
Kalau kata Mas Ozy, "itu-itu" aja yang ditulis. Menulis topik bisnis dalam sepak bola juga pelarianku agar tidak bosan. Biar pembaca makin banyak juga, soalnya kalau "menjual" konten bola saja, kompasianer yang paham sedikit (karena tanggapan lebih banyak datang di akun twitterku).
Beberapa kali aku selingi artikel bola dengan artikel hobi, wisata, gaya hidup, hingga kesehatan. Di antara kategori di Kompasiana, fiksiana adalah yang belum tersentuh, tapi sebetulnya itulah yang ingin kucoba.
Aku juga bisa menulis puisi lho. Di buku diary-ku juga ada beberapa puisi yang aku tulis. Sebentar, ada yang aneh kan? Zaman sekarang, masih ada tho yang nulis diary? Cowok lagi?
Jangan kaget, nalarku memang unik. Akan tetapi, aku baru bisa membuat puisi bila ada syarat kondisi yang terpenuhi, yaitu saat sedang jatuh cinta atau sedang putus cinta saja. Di luar itu, blank. Â
Makanya, ketika belahan jiwaku tahu hal itu, dia protes; "berarti sekarang ga lagi jatuh cinta dong?". Kami LDR, tapi lewat sambungan seluler aku tahu kalau dia ngambek, cemberut, pipinya merah, manis sekali (Ga paham ya? yah jomlo si wkwk). Aku pun kena sidang online saat itu juga, untung cuma sidang sekali. Â
Menulis cerpen juga bisa, hanya belum mencoba saja. Dulu waktu sekolah, aku ingat pernah diberi tugas membuat cerpen, panjangnya maksimal 1 lembar kertas folio bolak-balik. Aku bisa menyelesaikannya, tapi merasa kalau kisahnya belum tuntas, jadi kepikiran jika aku (mungkin) punya bakat nulis novel, dasar halu.
Makanya, aku sering mampir membaca puisi-puisi Mbak Fatmi Sunarya, Ibu Lusy Mariana, Pak Ali Syams, Pak Katedrarajawen, dan Pak Rustian ya tujuannya untuk belajar. Tapi mohon maaf, aku jarang kan ngasih komentar, soalnya bingung mau komen apa. Kagum, kok bisa ya bikin puisi semudah dan seindah itu?
Jadi, tolonglah aku diajari menulis puisi dan cerpen. Bagi yang ikhlas bisa japri saja ya. Gausa basa-basi, aku juga baik kok, gak nggigit.
Karena curhatan ini sudah makin ngaco dan kurasa sudah terlalu panjang, maka segera diakhiri saja. Namun sebelum itu, aku mau sedikit memberikan pandangan. Ini adalah pengalamanku dulu waktu awal bergabung dengan Kompasiana.
Dulu, walau aku belum bikin artikel bola, aku sering mampir kesana. Tahukah pembaca kalau kolom komentar masa lalu itu ganas. Bagi penulis artikel bola, pengetahuannya akan diuji di kolom komentar, jadi kelihatan tuh mana yang menguasai, mana yang tidak alias asal comot berita lalu tulis ulang.
Bagiku, ketika artikelku mendapat komentar berupa nasihat, sanggahan, revisi, hingga kritik, aku malah suka. Itu artinya, pembaca benar-benar paham apa yang aku tulis. Terbaru, revisi dan tambahan informasi dari Pak Tonny Syiariel bahkan aku jadikan referensi untuk artikelku. Bermanfaat bukan?
Aku kangen masa-masa itu, dimana beda pendapat dan diskusi bisa tercipta di kolom komentar tanpa ada yang tersinggung. Komentar isinya tidak hanya menilai atau saling sapa saja. Ah mungkin ini gara-gara aku yang kurang rajin blogwalking, makanya followers-nya masih sedikit.
Yasudah, habis ini taubat dan jadi kompasianer yang baik deh.
Akhir kata, selamat ulang tahun Kompasiana. Terima kasih ya hadiah lomba blognya 2016 lalu. Kalau admin baca ini, tolong banyakin lomba blognya, biar aku makin semangat, hehe. Mungkin bisa juga lomba menulis khusus antarkompasianer, seru sepertinya. Semoga deh. Â Â
Sekian.
@IrfanPras
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H