Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sebelum Berutang, Yuk Pelajari Dulu Adab Utang Piutang dalam Islam

9 Agustus 2020   12:47 Diperbarui: 10 Agustus 2020   07:40 2500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi transaksi utang piutang. | foto: urbansalam.com

Surat Al Baqarah: 283 | design by canva
Surat Al Baqarah: 283 | design by canva

Barang jaminan atau gadai ini dipahami sebagai anjuran untuk menjamin keamanan utang. Anjuran adanya barang jaminan ini akadnya bersifat tambahan, jadi memang tidak wajib. Selain untuk menjamin keamanan transaksi utang piutang, jaminan atau barang gadai diadakan untuk menjalin kepercayaan transaksi.

Adanya jaminan ini juga bisa meringankan tanggungan utang. Karena hanya tambahan, maka ada konsekuensinya, yaitu kepemilikan barang yang dijaminkan tak boleh berpindah tangan. Artinya, walau jadi barang gadai, tidak boleh si pemberi utang memanfaatkan barang gadai tersebut.

Misalnya begini, ada orang yang ingin berutang beras satu karung kepada seseorang. Dalam transaksinya disertakan jaminan berupa gelang emas. Nah, sampai utang tersebut dilunasi, si pemberi utang tak boleh memanfaatkan emas tersebut untuk keuntungan semisal diuangkan, sebab hak miliknya tidak berpindah tangan kepada si pemberi utang.

Nah, dalam praktiknya, barang gadai ini nilainya lebih besar daripada nilai utangnya. Mendapat manfaat dari barang gadai itu boleh saja, namun mendapat untung dari barang gadai termasuk riba. "Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba." (HR. Baihaqi)

Nah itulah adab berutang dalam Islam sesuai dengan dalil yang telah dijelaskan dalam Alquran. 

Lalu, bagaimana adab menagih utang dalam Islam?

Menagih utang dalam Islam diperbolehkan dan tidak diwajibkan. Sepanjang pemberi utang mengingat dan bermaksud menagihnya maka mubah baginya untuk menagih utang tersebut. Namun, tidak apa-apa bila si pemberi utang tak menagihnya.

"Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui," (QS. Al-Baqarah: 280).

Perlu diingat juga bahwa transaksi utang dalam Islam itu bersifat transaksi sosial, dimana tujuan memberi utang itu untuk meringankan beban kebutuhan orang lain. Maka haram hukumnya seseorang memberi utang untuk memeras orang lain.

Begitu juga dengan menagih utang, haram hukumnya memberi ancaman atau bersifat kasar dalam menagih utang. Bagaimana dengan hukum menagih utang melalui perantara atau debt collector? Menurut pemahaman penulis, ada yang membolehkan tetapi dengan tata cara yang baik, tidak boleh membentak hingga bertindak kasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun