1. Menulis atau mencatat transaksi utang piutang
Ada perbedaan pendapat soal hukum mencatat atau menulis transaksi utang piutang ini. Pendapat pertama, mencatat transaksi utang piutang itu hukumnya wajib. Pendapat kedua, mencatat transaksi utang piutang hukumnya sekadar anjuran.
Mari kita ambil opsi terbaiknya saja, yaitu mencatat transaksinya. Salah satu alasan realistisnya ya karena utang bakal diwariskan. Apa jadinya jika kita sudah tiada masih punya utang dan tidak ada yang tau kalau kita punya utang. Jika ada pihak keluarga yang tau atau ada saksinya, maka ketika kita tidak sempat melunasi utang, ada yang menanggungnya, sehingga kita mati tidak dalam keadaan berutang.
Banyaknya kasus utang yang dicurhatkan di media sosial juga banyak disebabkan oleh transaksi yang tidak dicatat. Istilahnya tidak ada hitam di atas putih, tidak ada buktinya. Maka catatlah transaksi utang piutang dengan jelas dengan diketahui 2 belah pihak serta kalau bisa ada saksinya.
2. Menghadirkan saksi
Oleh karena itu, adab kedua dari utang piutang adalah menghadarikan saksi. Selain untuk mengantisipasi utang yang tak terbayar hingga mati, kita paham bahwa manusia itu mudah lupa.
Walaupun utang diperbolehkan, tetapi pasti banyak orang yang merasa malu atau risih apabila mengetahui dirinya berutang ke orang lain. Sehingga adanya saksi sering jadi perdebatan apakah wajib atau hanya anjuran.
Perkara menghadrikan saksi dalam transaksi utang ini banyak dipahami sebagai bagian ijma'Â (kesepakatan ulama) bahwa hukumnya tidak wajib, tetapi dianjurkan. Kembali lagi, manusia tempatnya lupa jadi apabila nantinya Ia lupa ada yang mengingatkan untuk segera membayar utangnya.
3. Adanya jaminan atau barang gadai